Sabtu, 3 Desember 2011
Kami berempat bangun pagi
untuk persiapan perjalanan menuju Kuala Lumpur. Pukul enam pagi, Penang masih
gelap gulita seperti subuh di Indonesia. Kami berjalan kaki menuju pool bis. Setelah konfirmasi ini-itu
soal keberangkatan bis, pukul delapan lewat bis kami mulai jalan menuju ibu
kota Malaysia.
Penang- Kuala Lumpur punyak
waktu tempuh lima jam. Saya isi lima jam itu dengan tidur, menyetel iPod,
tidur, melihat-lihat pemadangan, tidur, makan, tidur, memotret, tidur. Tapi
saya sepenuhnya terbangun saat bis melewati Jembatan Penang. Saya merasakan sensasi
aneh ketika melihat lautan menyatu dengan langit di ujung paling seberang. Saya
seperti ingin melongok ke yang paling ujung itu, untuk membuktikan kalau bumi
itu benar bulat. Ah, rupanya kantuk membuat pikiran saya melantur.
Lihat iPod yang sudah kami siapkan untuk menemani perjalanan
Setelah istirahat sekali yang
lumayan mengurangi penat, kami tiba di Kuala Lumpur pukul satu. Niat awal naik
kereta menuju Petronas Towers surut melihat mengularnya antrian. Kami
memutuskan naik taksi untuk mengirit waktu. Kami hanya punya sehari di Kuala
Lumpur, tak boleh disia-siakan untuk hal-hal yang memboroskan waktu.
Di jalan, saya memuaskan
mata memandang sekeliling. Kota ini lebih rapi dibanding ibu kota negara
sendiri. Tak lama, terlihat bangunan yang menjadi ikon Malaysia itu. Petronas
atau juga dikenal dengan Twin Towers menjulang
tinggi, terlihat dominan di antara bangunan yang lain. Begitu tingginya hingga
mata saya silau terkena cahaya matahari ketika mendongak untuk melihat
ujungnya.
Seperti turis pada umumnya, kami berfoto-foto dengan berbagai macam
gaya. Sayangnya, kamera Mbak Vita rusak mendadak saat hendak mengambil gambar.
Masih ada tiga kamera lain sih. Khusus untuk kunjungan ke Kuala Lumpur ini,
saya bahkan membawa Baby Canon.
Kamera Mbak Vita rusak :(
Dari Petronas Towers, kami
menuju Central Market tempat membeli oleh-oleh dengan harga miring. Bisa
ditawar pula. Tempat ini recommended bagi
pemburu oleh-oleh. Yang istimewa, saya menemukan kaos All Blacks – tim rugby
dari New Zealand dan juara Rugby World Cup 2011 – di sana. Saya langsung beli,
karena All Blacks mengingatkan pada penyanyi favorit saya Hayley Westenra yang
juga berasal dari Negeri Kiwi.
Central Market, Kuala Lumpur
All Blacks in Me
Puas di Central Market, dan
sesuai petunjuk itinerary rancangan
Mbak Vita, kami segera menuju Bukit Bintang. Serius, saya pikir Bukit Bintang
itu sejenis bukit tempat kami bisa melihat gemerlap bintang. Ternyata itu
adalah pusat perbelanjaan di Kuala Lumpur. Diskon Natal dan akhir tahun ada
dimana-mana. Orang-orang hilir mudik dengan tas bertuliskan merk sepatu atau
pakaian. Sementara teman-teman saya memuaskan jiwa shopaholic-nya, saya
terduduk di sofa dengan kaki pegal.
Salah satu spot di Bukit Bintang
Kami hanya menyempatkan sebentar
di Bukit Bintang karena diburu waktu untuk segera sampai ke bandara untuk
penerbangan malam hari menuju Penang. Kami naik taksi untuk mempercepat waktu.
Perjalanan ke bandara ternyata sangat jauh. Untunglah supir taksinya pandai
bercerita. Kami banyak mendengar tentang Malaysia darinya.
Ia menceritakan betapa
Kerajaan mengurus kebutuhan dasar rakyatnya, mulai dari pendidikan hingga
kesehatan. Pendidikan di sana murah bahkan gratis di beberapa tahun pertama. Begitu juga dengan kesehatan. Ia menceritakan kebaikan
penguasanya – yang ia sebut Yang di-Pertuan Agong – hal yang rasanya sulit ditemui di Indonesia. Saya jadi bertanya-tanya apa yang akan orang
Indonesia jawab ketika ditanya tentang Pemerintah Indonesia, tentang
presidennya. Optimiskah? Pesimiskah? Positifkah? Negatifkah? Tak pedulikah?
Supir taksi itu bilang
Kerajaan akan mengambil pajak dari rakyatnya, untuk kemudian kembali
dimanfaatkan untuk rakyat. Pikiran saya sungguh kemana-mana. Nama Gayus
terlintas begitu saja. Seandainya pajak benar digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat...
Entah kami sedang beruntung,
atau memang demikian adanya selalu, pesawat kami terbang sesuai jadwal. Kami
menggunakan maskapai yang sama dengan yang digunakan dari Jakarta ke Penang. Tak
ada delay. Bahkan kami sampai lebih
awal dari yang tertera di jadwal. Saya lagi-lagi membandingkan dengan maskapai
dalam negeri yang bersahabat karib dengan kata delay. Jahat ya saya? Selalu membandingkan rumput rumah sendiri
dengan tetangga. Tapi saya tak bisa mengelaknya. Saya harus mengakui, Malaysia
memang lebih maju.
Love the pic behind Twin Tower! :)
ReplyDeleteIya dunk :D We had so much F.U.N there!
ReplyDelete