Hari
terakhir saya di Jepang, 12 September 2016. Saya check out dari hotel pukul 10 pagi dan berjalan ke Minam-senju.
Ransel saya lebih berat dari saat saya datang. Lumayan bikin pegel. Saat
menemukan kotak pos di pinggir jalan, saya mengeposkan beberapa kartu pos untuk
keluarga dan teman. Meskipun masih ingin ke Akihabara lagi, tetapi saya skip tempat itu supaya bisa ke
tempat-tempat lainnya.
Jalanan di sekitaran Juyoh
Stasiun Minami-senju
Saya
naik kereta ke Kita-senju untuk makan udon di OIOI. Melihat kereta pertama
datang, saya langsung mengambil posisi duduk. Dan merasa agak aneh, karena
gerbong benar-benar kosong. Cuma saya yang ada di sana. Belum ada satu menit
duduk, saya didatangi petugas kereta. Dia bicara dengan Bahasa Jepang tapi dari
gerakan tangannya saya tahu satu hal: kereta ini memang sengaja dikosongkan.
Sepertinya akan balik ke arah Ueno, alih-alih Kita-senju.
Ternyata salah naik kereta
Ketika
saya akhirnya sampai di Kita-senju naik kereta lain, mall belum buka. Saya
lihat lewat pintu kaca, mall buka pukul 10.30; masih 10 menit lagi. Beberapa
orang sudah berdiri di depan pintu, termasuk saya. Berseberangan dengan kami,
ada dua pegawai mall – lelaki dan perempuan – yang berdiri menghadap kami,
beberapa kali membungkuk. Seriusan. Mungkin itu seperti ucapan memberi salam
atau gesture ‘meminta maaf’ atau
‘terima kasih’ karena konsumen mesti menunggu.
Beberapa orang sudah menunggu meskipun mall belum buka.
Dua pelayan di depan siap menyambut pengunjung.
As expected, pukul 10.30 teng,
pintu dibuka. Semua yang di dalam sudah siap, termasuk warung udon yang saya tuju. Saya memesan udon
yang sama. Pelayanannya juga sama. Mellow semalam mendadak muncul lagi.
Makan udon lagi
Meninggalkan
OIOI dengan emo, saya langsung ke Tokyo Skytree Tower. Dulu saya ke sana untuk naik
ke observatorium deck-nya, tapi kini
tujuan saya adalah Planetarium Konica Minolta. Seumur-umur, saya baru sekali ke
planetarium. Itu pun planetarium di Taman Ismali Marzuki Jakarta. Di Tokyo ada
beberapa planetarium, termasuk yang ada di Shibuya. Tapi Konica Minolta adalah
yang paling baru karena dibangun di 2012, jadi saya pikir, peralatannya lebih
canggih.
Saya
sampai sekitar pukul 12, sementara pertunjukan selanjutnya satu jam setelahnya.
Jadi setelah membeli tiket, saya duduk-duduk saja di depan ticket counter. Saat itu ransel terasa semakin berat jadi saya
memilih untuk duduk ketimbang jalan-jalan.
Ada
beberapa pertunjukan yang ditampilkan di planetarium ini, yang saya tonton
berjudul Star Flight Hokkaido. Ada
pula yang temanya dinosaurus (jangan tanya kenapa ada dinosaurus di
planetarium) dan yang unik, ada pertunjukan dengan aroma terapi juga. Sayang
karena waktu yang terbatas, saya tidak bisa memesan pertunjukan dengan aroma
terapi itu karenanya adanya sore hari.
Sepuluh
menit sebelum pertunjukan dimulai, penonton dipersilakan masuk. Ruangannya luas
dan terlihat modern dengan atap melengkung. Saya meminta headphone untuk mendengarkan terjemahan Inggris dan menitipkan
ransel saya di depan. Setelah itu saya mulai mencari nomor kursi yang tertera
dalam tiket.
Ruangan
mulai digelapkan, dan beberapa iklan sponsor ditayangkan. Tak lama, seiring backsong dari Pentatonix, cerita pun
dimulai.
Sang
narator berkisah – dengan Bahasa Jepang, saya mulai mendengarkan terjemahannya
melalui headphone – kalau di masa
lalu Hokkaido adalah tempat dengan langit malam penuh bintang paling terang. Kita
kemudian seperti dibawa naik pesawat dari Tokyo ke Hokkaido dan melihat
lampu-lampu berkilauan dari atas sana.
Setelah
itu diceritakan tentang rasi bintang, tentang bintang utara, tentang
asal-muasal benda-benda angkasa. Daaan…di tengah-tengah pertunjukan, saya
ketiduran. Iya, ketiduran! Mungkin karena efek ruangan yang gelap, AC yang
sejuk, dan suara Pentatonix yang tiga kali lebih keren karena kualitas audionya
yang super.
Bangun-bangun,
pertunjukan hampir selesai. Tak lama, lampu dinyalakan dan lagu-lagu Pentatonix
kembali diputar. Belakangan saya tahu kalau hari itu adalah pertunjukan terakhir
Planetarium Konica Minolta feat.
Pentatonix. Mungkin untuk pertunjukan selanjutnya, backsong-nya bisa dari musisi yang lain.
Dari
planetarium, saya ke Tsukishima untuk mencoba monjayaki, makanan khas Jepang.
Ini gara-gara saya pernah menonton Paruru makan monjayaki di daerah itu, saya
jadi pengin. Konon tempat ini bahkan punya monjayaki
street saking banyaknya orang yang jual monjayaki.
Sudah
setengah hari saya membawa-bawa ransel, bahu mulai protes. Saya ingin cepat
sampai ke monjayaki street. Well, entah kenapa saya tidak menemukan
satu pun kedai monja. Padahal Paruru kelihatan gampang menemukannya. Setelah
bolak-balik mencari dan tidak nemu, saya menyerah. Saya langsung ke tujuan
selanjutnya di Odaiba.
Sekarang
saya tahu kenapa saya tidak bisa menemukan monjayaki street. Setelah menonton
ulang video Paruru, saya baru ngeh kalau station
exit saya berbeda arah dengan Paruru. Saya belok ke kanan, Paruru ke kiri.
Saya sempat juga menanyakan arah jalan ke seseorang, tapi sepertinya dia salah
tangkap jadi saya malah jadi tambah jauh nyasar.
Di
Odaiba, uang yen saya menipis. Saya menukarkan USD yang sengaja saya bawa untuk
jaga-jaga. Saya tukarkan USD ke yen di money
changer sana yang memakai mesin.
Karena
capek membawa-bawa ransel, saya titipkan ransel di coin locker. Langsung enteng T_T
Di
Odaiba, saya ke FujiTV. Di lantai dasarnya ada Chibi Maruko-chan Café. Karena
sudah terlalu sore, tidak banyak tempat yang bisa dieksplor di FujiTV. Observation deck-nya juga sudah tutup.
Dari FujiTV, saya berjalan kaki menuju mall dengan background Patung Liberty kw yang jadi ikon Odaiba. Foto-foto
sebentar, saya langsung ke Bandara Haneda. Kalau tidak capek dan diburu-buru
waktu, mungkin saya bisa ke tempat-tempat menarik lainnya.
Ada Chibi Maruko-chan cafe lho di FujiTV
Sazaesan cafe juga ada
Ikon Odaiba
Setelah
sempat salah terminal, saya akhirnya sampai di terminal keberangkatan untuk
penerbangan internasional. Makan malam saya di bandara ini adalah yang termahal
setelah makan di AKB café. Tapi rasa memang tidak bisa bohong. >,<
Sampai di Haneda. Jepang siap menyambut olimpiade.
Tempat makan bergaya Edo di Haneda
Makan malam sebelum boarding
Selesai
check in ulang, saya menunggu di gate sambil mendengarkan musik atau browsing. Semalaman di pesawat saya
habiskan untuk tidur; kali ini saya duduk dekat gang. Paginya saya sarapan mie
rebus di KLIA Malaysia dan sorenya saya sudah kembali lagi ke Jakarta.
***
Saya
telah menulis ulang cerita perjalanan ke Jepang. Kalau dulu saya hanya membayangkannya, sekarang saya benar-benar
telah menjalaninya. Di cerita yang sebenarnya, banyak detail yang hilang.
Tidak
ada Nagoya dengan Sunshine Sakae dan teater SKE48.
Tidak
ada Arashiyama, geisha, dan tea ceremony di
Kyoto.
Tidak
ada Osaka.
Tidak
ada nonton live theater.
Mungkin
– well, mungkin saja – cerita itu
disimpan untuk ditulis nanti.