Di
hari keempat, Minggu 11 September 2016, saya hanya punya dua agenda:
mengunjungi Edo-Tokyo Open Air Architectural Museum dan Tokyo Skytree Tower. Saya selalu suka
dengan open museum karena suasananya
yang diciptakan seperti masa lalu, termasuk dengan orang-orang (selain pengunjung)
di dalamnya juga yang biasanya sukarelawan. Para sukarelawan ini seringnya
memakai kostum seperti jaman dulu dan melakukan pekerjaan-pekerjaan pada masa
itu. Sebelum museum di Tokyo ini saya pernah mengunjungi open museum di dua kota: di Arnhem, Belanda dan Oslo, Norwegia.
Jarak
tempuh dari Minami-senju ke Higashi-kogaeni – stasiun yang paling dekat dengan
museum – sekitar satu jam. Kereta yang awalnya penuh berangsur-angsur sepi
karena menjauhi pusat kota. Meskipun hari Minggu, saya melihat beberapa orang
memakai baju kantoran berjas ataupun dipadu blazer.
Setelah
sempat ketiduran karena AC yang dingin dan perjalanan yang panjang, akhirnya
saya sampai juga di Stasiun Higashi-kogaeni. Karena belum sarapan, begitu
keluar dari stasiun saya langsung cari makan. Ada beberapa kedai kecil, tapi
saya tertarik dengan grilled beef yang
kelihatannya enak. Sebelum saya masuk, ada bapak-bapak yang masuk lebih dulu.
Saya mengekor di belakang.
Alih-alih
langsung duduk, si bapak tadi langsung menuju semacam mesin mirip ATM yang ada
persis setelah pintu masuk, di sebelah kiri. Rupanya dia memilih menu dan
membayar langsung dari situ. Saya sudah pernah dengar konsep kedai seperti ini
sebelumnya, tapi mencobanya sendiri tetap seru.
Setelah
memilih makanan dan membayarnya, saya duduk di meja untuk dua orang. Di
seberang saya, ada kakek-kakek yang minum sake sendirian, makanannya tidak
tersentuh bahkan sampai saya selesai makan. Mungkin dia sedang sedih…
Grilled beef yang saya pilih
rasanya enak. Bumbunya minimalis, tapi kuat di rasa. Didukung nasi jepang,
makan siang saya hari itu memuaskan!
Selesai
makan, saya langsung ke terminal bis di depan stasiun untuk mencari bis tujuan
museum. Dan saat itu, saya bingung. Tidak ada petunjuk apapun, apalagi yang
memakai Bahasa Inggris. Tidak ada yang terlihat bisa ditanyai. Akhirnya saya ke
kantor polisi untuk menanyakan arah. Seorang polisi muda dengan Bahasa Inggris
terpatah-patah menyarankan saya untuk naik bis warna pink.
Kebetulan
bis pink masih ada di halte dan siap-siap berangkat. Saya mengejarnya dan hanya
dengan 100 yen, saya langsung diantarkan ke museum.
Well, mestinya sih
begitu.
Kenyataannya,
bis terus berputar-putar sampai saya curiga kalau museum sudah lewat. Saya
pikir, bis itu punya rute khusus ke museum. Ketika di satu tempat orang ramai
turun, saya ikut turun. Apalagi ada taman di sebelah kanan; mungkin itu pintu
masuk ke museum.
Salah masuk taman
Ternyata
itu semacam hutan kota. Saya foto-foto sebentar terus kembali ke halte untuk
menunggu bis pink yang lain lewat. Oiya, halte di sini bukan bangunan permanen,
tapi cuma ditandai dengan papan bertuliskan kanji. Orang-orang menunggu sambil
berdiri. Tapi di halte yang dekat taman tadi ada tiga kursi diletakkan
berderet. Pun demikian, tidak ada yang mendudukinya.
'Halte' sederhana
Suasana
di area Tokyo pinggiran ini beda dengan pusat kotanya. Lebih sepi dan nyaris
tidak ada informasi dalam Bahasa Inggris. Ini sangat menyulitkan bagi turis
asing yang tidak bisa berbahasa dan membaca tulisan Jepang.
Saya
naik bis lagi dan alih-alih kembali ke Stasiun Higashi-kogaeni, bis membawa
kami ke Stasiun Musashi-Kogaeni. Dari peta, saya tahu kalau stasiun ini beda
satu stasiun dari yang sebelumnya. Di depan ke Stasiun Musashi-Kogaeni juga ada
terminal bis. Enaknya, langsung ada informasi bis nomor berapa yang tujuannya
ke Edo-Tokyo Open Air Architectural Museum. Saya naik bis dimaksud dan akhirnya
dengan selamat sampai museum T_T Total saya menghabiskan waktu hampir satu jam
sendiri untuk muter-muter naik bis.
Jalan
masuk dari gerbang depan ke museum lumayan jauh juga. Ada banyak keluarga yang
memanfaatkan taman di sana untuk bersantai atau berolah raga. Saya langsung ke
museum, membayar tiket masuk ke dalamnya setelah dibekali dengan peta museum.
Museum menyatu dengan taman kota
Karena
konsepnya arsitektur dari sekitar jaman Edo, bangunan di sana punya gaya yang
khas dan menarik. Ada yang terlihat kuno-antik, namun ada pula yang terpengaruh
budaya Barat. Ada yang bisa dimasuki, ada yang tidak. Ketika bisa masuk ke
sebuah bangunan pun, tidak semua ruangan di dalamnya bisa dimasuki. Kita harus
memperhatikan papan informasi agar tidak melanggar.
Di salah satu bangunan, ada dua kakek sedang merebus air untuk membuat teh. Mereka adalah relawan museum ini. Mereka menyapa saya memakai Bahasa Inggris dan mengajak saya minum teh bareng. Kami ngobrol mulai dari cuaca sampai pekerjaan mereka sebagai relawan. Salah satunya bahkan mempraktekan cara merebus air dengan cara tradisional dan meminta saya mencobanya. Saya juga diberi souvenir kecil seperti wadah dari anyaman.
Dua kakek baik ini sukarelawan museum
Di
bangunan yang lain, saya melihat seorang perempuan sedang memainkan wayang
boneka di depan anak-anak. Di tempat lainnya lagi, ada orang yang membuat
payung kertas. Saya menjelajahinya satu per satu, sesekali duduk sambil minum
Pocari Sweat.
Kalau kakek yang ini membuat payung dari kertas
Museum
ini sebetulnya bagus dan patut dikunjungi, tapi mood saya saat ke sana sedang kurang oke. Mungkin karena sebelumnya
saya nyasar-nyasar naik bis. Sudah capek duluan. Selain itu, banyak spot yang
menarik untuk foto-foto tapi karena datang sendiri, jadi banyak yang
terlewatkan. >,<
Saat
berjalan di taman, saya melihat seseorang yang mirip dengan Kashiwagi Yuki.
Gaya dia mengikat rambutnya pun sama. Ketika saya berjalan melewatinya, saya
lihat dia sedang menangkap Pokemon di taman. Selain Yukirin, dua kali saya
melihat seseorang yang mirip member AKB48. Yang pertama adalah Shimada (bukan
Shimazaki) Haruka saat saya naik kereta ke Shibuya dan yang kedua adalah
Miyawaki Sakura saat saya menunggu di Stasiun Akihabara. I know it was only my imagination.
Dari
Edo-Tokyo Open Air Architectural Museum, niatnya saya mau ke Tokyo Skytree Tower. Tapi karena
lelah, saya malah ke Asakusa yang searah.
Saya
pernah ke kuil Asakusa sebelumnya, tapi itu di malam hari. Datang ke sana di
saat hari masih terang punya kesan yang berbeda. Jalanan menuju kuil lebih
ramai, dan sesak oleh pengunjung. Souvenir yang dijual di sana rata-rata
harganya sama, tapi saya menemukan satu yang paling murah di antara lainnya.
Saya sekalian beli oleh-oleh di situ. Kalau saya perhatikan, toko yang paling
ramai memang toko souvenir murah-meriah receh yang menjual macam gantungan
kunci, magnet, dan lainnya. Kedai jajanan juga laris. Toko-toko yang sepi
biasanya yang menjual cinderamata khas Jepang dengan kualitas bagus yang
harganya belasan hingga puluhan ribu yen. Malah saya sempat melihat toko yang
saking sepinya, penjaganya yang nenek-nenek sampai ketiduran. Padahal suasana
di sepanjang jalan di depannya penuh orang lalu-lalang.
Menjauhi
jalan utama, saya berbelok masuk ke jalanan yang lebih sepi. Ada satu kedai di
pojokan yang dipenuhi orang-orang yang mengantri. Ternyata yang dijual adalah
melonpan. Tanpa pikir panjang, saya langsung ikut mengantri.
Melonpan kesukaan oshi
Tokyo Skytree Tower terlihat dari Asakusa
Melonpan
adalah roti kesukaan Matsui Rena. She was
my oshi in SKE48 before she announced her graduation from the group last year. Di
Jakarta juga ada melonpan – saya mencicipinya beberapa kali di Pan Ya, demi –
tapi mencobanya langsung di Jepang jadi lebih seru. Kedai melonpan di Asakusa
tadi menawarkan berbagai variasi melopan: mulai dari yang polos sampai yang
diisi es krim. Saya pilih yang terakhir itu.
Ukuran
melonpannya terbilang lumayan besar; bikin kenyang. Selain lebih besar dari
yang biasa saya makan di Pan Ya, rasanya juga lebih manis bahkan tanpa es krim
sekalipun. Melonpan di Pan Ya rasanya lebih plain.
Yang paling saya suka, tekstur luarnya itu krispi. Es krimnya juga enak;
meleleh-leleh sampai ke tangan. Melonpan ini pasti lebih enak kalau porsinya
dikurangi sedikit. Eh, itu sih menurut saya ya…
Di
jalan pulang ke hotel, saya melihat ada warung kecil dengan menu ayam karaage
atau ayam goreng khas Jepang, biasanya dengan dibalur tepung. Saya memang sudah
kenyang makan melonpan, tapi malam masih panjang dan saya malas kalau tiba-tiba
lapar tengah malam. Akhirnya saya pesan ayam goreng untuk dibawa ke hotel.
Ketika saya mengatakan ingin memesan “chicken
karaage”, penjualnya yang bapak-bapak tidak tahu artinya “chicken”. Tetiba saya teringat dari
Majisuka Gakuen kalau Bahasa Jepangnya ayam adalah “tori”. Baru setelah saya bilang “tori karaage”, si penjual mulai ngeh.
Beli ayam karaage di sini
Sebelum
tidur, saya packing dengan mellow karena waktu terasa cepat di sana.
Saya masih ingin ke Akihabara lagi. T_T
No comments:
Post a Comment