Saturday, 15 October 2016

Menulis Ulang Jepang (6): Melihat Bintang-Bintang, Saatnya Pulang




Hari terakhir saya di Jepang, 12 September 2016. Saya check out dari hotel pukul 10 pagi dan berjalan ke Minam-senju. Ransel saya lebih berat dari saat saya datang. Lumayan bikin pegel. Saat menemukan kotak pos di pinggir jalan, saya mengeposkan beberapa kartu pos untuk keluarga dan teman. Meskipun masih ingin ke Akihabara lagi, tetapi saya skip tempat itu supaya bisa ke tempat-tempat lainnya.

 Jalanan di sekitaran Juyoh

 Stasiun Minami-senju

Saya naik kereta ke Kita-senju untuk makan udon di OIOI. Melihat kereta pertama datang, saya langsung mengambil posisi duduk. Dan merasa agak aneh, karena gerbong benar-benar kosong. Cuma saya yang ada di sana. Belum ada satu menit duduk, saya didatangi petugas kereta. Dia bicara dengan Bahasa Jepang tapi dari gerakan tangannya saya tahu satu hal: kereta ini memang sengaja dikosongkan. Sepertinya akan balik ke arah Ueno, alih-alih Kita-senju. 

 Ternyata salah naik kereta

Ketika saya akhirnya sampai di Kita-senju naik kereta lain, mall belum buka. Saya lihat lewat pintu kaca, mall buka pukul 10.30; masih 10 menit lagi. Beberapa orang sudah berdiri di depan pintu, termasuk saya. Berseberangan dengan kami, ada dua pegawai mall – lelaki dan perempuan – yang berdiri menghadap kami, beberapa kali membungkuk. Seriusan. Mungkin itu seperti ucapan memberi salam atau gesture ‘meminta maaf’ atau ‘terima kasih’ karena konsumen mesti menunggu.

 Beberapa orang sudah menunggu meskipun mall belum buka.
Dua pelayan di depan siap menyambut pengunjung.

As expected, pukul 10.30 teng, pintu dibuka. Semua yang di dalam sudah siap, termasuk  warung udon yang saya tuju. Saya memesan udon yang sama. Pelayanannya juga sama. Mellow semalam mendadak muncul lagi.

 Makan udon lagi

Meninggalkan OIOI dengan emo, saya langsung ke Tokyo Skytree Tower. Dulu saya ke sana untuk naik ke observatorium deck-nya, tapi kini tujuan saya adalah Planetarium Konica Minolta. Seumur-umur, saya baru sekali ke planetarium. Itu pun planetarium di Taman Ismali Marzuki Jakarta. Di Tokyo ada beberapa planetarium, termasuk yang ada di Shibuya. Tapi Konica Minolta adalah yang paling baru karena dibangun di 2012, jadi saya pikir, peralatannya lebih canggih.

Saya sampai sekitar pukul 12, sementara pertunjukan selanjutnya satu jam setelahnya. Jadi setelah membeli tiket, saya duduk-duduk saja di depan ticket counter. Saat itu ransel terasa semakin berat jadi saya memilih untuk duduk ketimbang jalan-jalan.

Ada beberapa pertunjukan yang ditampilkan di planetarium ini, yang saya tonton berjudul Star Flight Hokkaido. Ada pula yang temanya dinosaurus (jangan tanya kenapa ada dinosaurus di planetarium) dan yang unik, ada pertunjukan dengan aroma terapi juga. Sayang karena waktu yang terbatas, saya tidak bisa memesan pertunjukan dengan aroma terapi itu karenanya adanya sore hari.

Sepuluh menit sebelum pertunjukan dimulai, penonton dipersilakan masuk. Ruangannya luas dan terlihat modern dengan atap melengkung. Saya meminta headphone untuk mendengarkan terjemahan Inggris dan menitipkan ransel saya di depan. Setelah itu saya mulai mencari nomor kursi yang tertera dalam tiket.

Ruangan mulai digelapkan, dan beberapa iklan sponsor ditayangkan. Tak lama, seiring backsong dari Pentatonix, cerita pun dimulai.

Sang narator berkisah – dengan Bahasa Jepang, saya mulai mendengarkan terjemahannya melalui headphone – kalau di masa lalu Hokkaido adalah tempat dengan langit malam penuh bintang paling terang. Kita kemudian seperti dibawa naik pesawat dari Tokyo ke Hokkaido dan melihat lampu-lampu berkilauan dari atas sana.

Setelah itu diceritakan tentang rasi bintang, tentang bintang utara, tentang asal-muasal benda-benda angkasa. Daaan…di tengah-tengah pertunjukan, saya ketiduran. Iya, ketiduran! Mungkin karena efek ruangan yang gelap, AC yang sejuk, dan suara Pentatonix yang tiga kali lebih keren karena kualitas audionya yang super.

Bangun-bangun, pertunjukan hampir selesai. Tak lama, lampu dinyalakan dan lagu-lagu Pentatonix kembali diputar. Belakangan saya tahu kalau hari itu adalah pertunjukan terakhir Planetarium Konica Minolta feat. Pentatonix. Mungkin untuk pertunjukan selanjutnya, backsong-nya bisa dari musisi yang lain.

Dari planetarium, saya ke Tsukishima untuk mencoba monjayaki, makanan khas Jepang. Ini gara-gara saya pernah menonton Paruru makan monjayaki di daerah itu, saya jadi pengin. Konon tempat ini bahkan punya monjayaki street saking banyaknya orang yang jual monjayaki.


Sudah setengah hari saya membawa-bawa ransel, bahu mulai protes. Saya ingin cepat sampai ke monjayaki street. Well, entah kenapa saya tidak menemukan satu pun kedai monja. Padahal Paruru kelihatan gampang menemukannya. Setelah bolak-balik mencari dan tidak nemu, saya menyerah. Saya langsung ke tujuan selanjutnya di Odaiba.

Sekarang saya tahu kenapa saya tidak bisa menemukan monjayaki street. Setelah menonton ulang video Paruru, saya baru ngeh kalau station exit saya berbeda arah dengan Paruru. Saya belok ke kanan, Paruru ke kiri. Saya sempat juga menanyakan arah jalan ke seseorang, tapi sepertinya dia salah tangkap jadi saya malah jadi tambah jauh nyasar.

Di Odaiba, uang yen saya menipis. Saya menukarkan USD yang sengaja saya bawa untuk jaga-jaga. Saya tukarkan USD ke yen di money changer sana yang memakai mesin.

Karena capek membawa-bawa ransel, saya titipkan ransel di coin locker. Langsung enteng T_T

Di Odaiba, saya ke FujiTV. Di lantai dasarnya ada Chibi Maruko-chan Café. Karena sudah terlalu sore, tidak banyak tempat yang bisa dieksplor di FujiTV. Observation deck-nya juga sudah tutup. Dari FujiTV, saya berjalan kaki menuju mall dengan background Patung Liberty kw yang jadi ikon Odaiba. Foto-foto sebentar, saya langsung ke Bandara Haneda. Kalau tidak capek dan diburu-buru waktu, mungkin saya bisa ke tempat-tempat menarik lainnya. 

 Ada Chibi Maruko-chan cafe lho di FujiTV

Sazaesan cafe juga ada

 Ikon Odaiba

Setelah sempat salah terminal, saya akhirnya sampai di terminal keberangkatan untuk penerbangan internasional. Makan malam saya di bandara ini adalah yang termahal setelah makan di AKB café. Tapi rasa memang tidak bisa bohong. >,<

 Sampai di Haneda. Jepang siap menyambut olimpiade.


Tempat makan bergaya Edo di Haneda

Makan malam sebelum boarding

Selesai check in ulang, saya menunggu di gate sambil mendengarkan musik atau browsing. Semalaman di pesawat saya habiskan untuk tidur; kali ini saya duduk dekat gang. Paginya saya sarapan mie rebus di KLIA Malaysia dan sorenya saya sudah kembali lagi ke Jakarta.

***

Saya telah menulis ulang cerita perjalanan ke Jepang. Kalau dulu saya hanya membayangkannya, sekarang saya benar-benar telah menjalaninya. Di cerita yang sebenarnya, banyak detail yang hilang.

Tidak ada Nagoya dengan Sunshine Sakae dan teater SKE48.
Tidak ada Arashiyama, geisha, dan tea ceremony di Kyoto.
Tidak ada Osaka.
Tidak ada nonton live theater.

Mungkin – well, mungkin saja – cerita itu disimpan untuk ditulis nanti.

No comments:

Post a Comment