Bayangkan kau duduk dekat jendela pada sebuah pesawat
dengan kursi-kursi sempit. Kau suka duduk dekat jendela, tapi tidak untuk
perjalanan jauh selama tujuh jam naik pesawat. Karena itu artinya satu hal: akses
ke toilet yang merepotkan. Di sebelahmu ada pasangan muda Jepang yang berbagi
semuanya berdua, mulai dari snack hingga selimut. Dan kau berpura-pura tak
mengacuhkannya.
Sudah menjelang tengah malam dan kau menyesali duduk di
pinggir jendela karena yang kau lihat hanya gelap. Tapi kemudian awan-awan
kelabu mulai terlihat seiring pengumuman dari pilot kalau pesawat akan segera
mendarat. Hatimu terkesiap ketika kau melihat cahaya berkilauan di antara awan-awan
itu, ratusan kaki di bawahmu. Perhatianmu kini kau curahkan pada apa yang ada di balik
jendela. Awan kembali menutupi pendaran cahaya di bawah sana, namun itu tak
lama. Kau menunggu dengan penuh harap hingga akhirnya awan tak lagi menjadi
penghalang.
Kau pernah melihat cahaya kota-kota di malam hari lewat
udara, tapi Tokyo malam itu adalah yang paling cemerlang. Berkali-kali kau
mengatakan pada dirimu sendiri bahwa kau tidak sedang bias, bahwa cahaya Tokyo
memang yang paling bersinar di antara semua tempat yang pernah kau kunjungi.
Penumpang yang duduk di depanmu mulai memotret pemandangan di luar dan kau pun
melakukan hal yang sama dengannya. Meskipun kau tahu, hasil potretnya tak akan
seindah yang kau lihat saat itu.
Anak kecil yang duduk di belakangmu berceloteh dalam
bahasa yang tak kau pahami. Seorang perempuan – mungkin ibunya – menimpalinya;
ia mengatakan sesuatu namun yang kau tangkap hanya satu: Tokyo Skytree-san. Dan
memang benar, Tokyo Skytree terlihat dominan di antara bangunan lainnya. Agak
ke kiri dari ikon Tokyo tersebut, kau lihat Tokyo Tower pun mencoba menarik
perhatianmu dengan kerlipnya.
Tiba-tiba kau merasa menjadi orang paling beruntung malam
itu karena duduk dekat jendela.
***
Cerita di
atas adalah yang saya rasakan saat AirAsia D7 522 membawa saya ke Tokyo dari
Kuala Lumpur, 8 September yang lalu. Penat yang saya rasakan karena duduk selama tujuh jam (+dua jam CGK-KLIA2) hilang melihat
Tokyo dari udara malam itu.
Sampai di Haneda!
Sayangnya
lelah itu cepat kembali datang ketika saya mulai mengantri di imigrasi. Bukan
hanya lelah, saya juga ngantuk dan ingin cepat tidur. Malam sebelumnya, saya
tidur tak lebih dari tiga jam.
Setelah
melewati petugas imigrasi muda yang jutek dan tak sabaran, perasaan saya masih belum
tenang. Saya masih harus mencari tempat untuk tidur di Bandara Haneda untuk
satu malam itu. Saya bahkan tak menyetel Aitakatta dari iPod begitu sampai di
Tokyo seperti yang saya bayangkan berbulan-bulan lalu saat saya memvisualisasikan perjalanan ini. Mood-nya belum
pas. Yang saya inginkan hanya tidur.
Well, inilah tidak enaknya naik low
cost carrier (LCC) atau pesawat berbudget rendah. Jadwalnya merepotkan karena pesawat tiba menjelang
tengah malam. Kereta sudah berhenti beroperasi dan satu-satunya pilihan
transportasi adalah taksi yang mahal. Dari review di berbagai blog, kebanyakan
orang yang menggunakan AirAsia ke Tokyo memilih tidur di bandara. Tak punya
banyak pilihan, saya ambil opsi itu.
Saya belum
pernah tidur di bandara manapun – sampai saat itu. Jadi rasanya gelisah mencari
tempat untuk tidur yang aman dan nyaman. Berdasarkan saran seseorang yang saya temukan
di blog,
saya naik ke observation deck karena
katanya tempat itu lebih redup dan lebih enak untuk tidur karena tidak berisik
seperti di lantai kedatangan.
Rupanya
itu pula yang banyak dipikirkan orang lain; sudah seperti rahasia umum. Jadi
begitu saya sampai di sana, kursi-kursi sudah penuh ditempati orang-orang.
Tidak ada tempat yang tersisa untuk tidur.
Saya
memutar arah menuju area kuliner bertema Edo. Ada banyak kursi panjang di situ
dilapisi kain berwarna merah. Beberapa orang sudah mengambil posisi tidur. Saya
menemukan satu kursi yang keliatan enak untuk beristirahat. Saya mencoba
berbaring; kayu yang rata dan keras langsung terasa di punggung. Saya jadikan
syal sebagai bantal. Ransel saya taruh di samping, sementara tas yang berisi
paspor hingga uang saya peluk.
Saya
mencoba memejamkan mata; dan gagal dalam hitungan menit.
Pantas
saja kursi itu tidak ada yang menempati walaupun ukurannya cukup besar
dibanding yang lain. Ternyata kursi itu persis di bawah AC yang konstan
mengeluarkan hawa dingin. Dijamin masuk angin kalau tidur di sana semalaman.
Saya tidak
ingin mengawali jalan-jalan di Tokyo dengan sakit. Terlebih saya ke sana
sendirian; saya mesti lebih bisa jaga diri.
Akhirnya
saya kembali ke lantai kedatangan, and guess what, kursi-kursi
yang sebelumnya kosong kini sudah penuh juga. Saat itu saya mulai frustasi. Tidur
di kasur terlihat seperti sebuah kemewahan, padahal di hari-hari sebelumnya
saya anggap itu hal biasa. Saya berjanji pada diri sendiri untuk sebisa mungkin
mencari jadwal flight yang lebih oke
dan untuk tidak melewatkan semalaman di bandara lagi sendirian.
Di Haneda
ada Royal Park Hotel yang menyatu dengan terminal kedatangan; tinggal selangkah
jalan kaki. Saking sudah lelahnya, saya tak peduli kalau bahkan mesti mengeluarkan 10.000
yen semalam untuk tidur di sana. Saya cek booking.com untuk tahu rate malam itu, ternyata harganya ada di kisaran 20.000 yen atau
lebih dari DUA JUTA per malam. Meskipun lelah, saya berpikir ulang juga kalau
mesti menginap dengan harga semahal itu.
Akhirnya,
saya menemukan satu kursi kosong di antara dua orang yang sedang berbaring
tidur. Tempatnya ada di pojokan. Jadi praktis saya hanya duduk sambil mencoba tidur. Beruntung
tiba-tiba ibu-ibu di samping saya dibangunkan oleh temannya dan mereka
berpindah tempat.
Tidur di sini semalaman
Saya mengambil
tiga kursi berjejer untuk berbaring. Kursinya sempit dan saya takut terjatuh. (Iya, dulu saya
pernah dua kali jatuh dari kasur.) Malam itu ada perbaikan gedung dan sepanjang malam yang
terdengar adalah alat berat. Berisik!
Saya
bangun dengan badan pegal dan lelah yang tak berkurang. Suara alat berat masih terdengar.
Saya lihat jam. Damn, masih pukul 3 pagi! Jadi saya baru
tidur tiga jam! Malam itu saya mimpi random dengan banyak fragmen. Salah satunya adalah
mimpi kalau penduduk Tokyo adalah kelinci yang bisa berjalan seperti manusia. Weird, I know.
Pagi di bandara
Hampir tidur di kursi merah ini
Ada jembatan juga
Dengan
susah payah saya tidur lagi dan lega ketika akhirnya kembali bangun, matahari
sudah benar-benar muncul. Haneda mulai terlihat sibuk, namun lebih bersemangat.
Perasaan saya jauh lebih baik dibanding malam sebelumnya. Antusiasme yang
sempat hilang, mulai saya kumpulkan. Pagi itu saya mengawali hari dengan
Aitakatta dari AKB48.
***
AKB48
memang alasan jalan-jalan saya ke Jepang di awal musim gugur tahun ini. Saking
niatnya, saya sempat menuliskan rencana perjalanan melalui tulisan jalan-jalan virtual ke Jepang ini pada awal tahun.
Itu sebenarnya adalah refleksi dari harapan-harapan dalam kondisi paling ideal.
Well, namun bahkan saat itu pun saya tahu, perubahan-perubahan
rencana dalam rentang waktu beberapa bulan itu sangat dimungkinkan.
Perubahan
rencana paling mendasar adalah mengenai jumlah kota yang ingin dikunjungi. Saya
merencanakan akan mengunjungi Tokyo, Nagoya, Osaka, Kyoto dengan total waktu
lima hari. Namun seiring itinerary yang
dibuat, rencana itu terlihat tidak feasible.
Terlalu memaksakan. Dan mahal pula .___.
Sebagai
gambaran, saya dapat tiket promo pesawat ke Tokyo dengan harga 3,8 juta. Untuk
membeli JR Pass, saya mesti mengeluarkan uang dengan jumlah yang sama, atau
bahkan lebih karena yen yang terus menguat. Saya bisa sih menghemat dengan
membeli tiket kereta biasa – bukan shinkansen. Tapi itu artinya waktu tempuh
perjalanan yang lebih panjang. Hemat di uang tapi boros di waktu karena habis
untuk perjalanan saja. Ada yang jauh lebih irit, yaitu menggunakan bus malam
dari Tokyo ke Nagoya. Selain harganya paling murah, saya bisa memangkas
pengeluaran untuk hotel. Dan karena malam hari, praktis tidak akan mengganggu
jadwal jalan-jalan. Tapi, waktu tempuhnya paling lama (sekitar delapan jam),
dan rasanya badan saya tak akan sanggup kalau bolak-balik dua kota itu dalam
rentang waktu lima hari.
Untuk
menghindari ribet yang tidak perlu, saya skip
Nagoya, Kyoto, dan Osaka, dan hanya akan fokus di Tokyo.
Hingga
kemudian, H-7 sebelum keberangkatan saya dengar kalau SKE48 akan mengadakan handshake festival di Nagoya pada
tanggal 10-11 September 2016 untuk single
ke-20 mereka: Kin no Ai, Gin no Ai.
Saya masih berada di Jepang pada tanggal tersebut!
Bayangan handshake dengan Matsui Jurina terlihat
keren dan tiba-tiba harga JR Pass yang mahal tak lagi relevan. Yang penting
bisa bertemu Jurina! Seharian itu saya cari info tentang cara mengikuti handshake festival di Jepang. Saya
sampai tanya ke teman-teman wota dan bahkan dikenalkan dengan seorang fan SKE48
dari Malaysia yang pernah handshake dan
bahkan 2-shot dengan Jurina. Long story
short, dari teman Malaysia itu saya jadi tahu kalau waktu saya sudah lewat
untuk handshake. Untuk mendapatkan
tiket handshake, saya mesti preorder
CD paling lambat 1 September 2016 pukul 12 siang JST. Saya baru tahu infonya
menjelang sore hari. Akhirnya saya kembali ke rencana untuk hanya mengeksplor
Tokyo.
Di hari
keberangkatan, tanggal 8 September 2016, saya meluncur ke Bandara
Soekarno-Hatta pukul 02.45 dini hari. Saya hanya membawa ransel dan tas tangan
yang ringkas. Saya pastikan sudah membawa semua yang diperlukan, dari dokumen
penting hingga obat-obatan. Karena jalan-jalan sendiri, saya harus lebih well-prepared. Terlebih saat itu kondisi
kesehatan saya sedang drop. It was not
the worst, but I was definitely not at my best. Tapi ya masa harus sampai
dibatalkan.
Begitulah.
Banyak perubahan yang terjadi di rentang waktu enam bulan. Ketika taksi yang
saya tumpangi menyusuri jalanan Jakarta pagi itu, I realised that I was about to rewrite a story.
No comments:
Post a Comment