Monday 18 April 2011

Padepokan Cemara (I)

Flu. Dari kemarin saya terserang flu. Saya pilek, bolak-balik bersin. Udara panas, tapi badan saya menggigil kena hembusan kipas angin. Di saat-saat seperti ini, saya membutuhkan sesuatu yang hangat. Sup ayam KFC biasanya jadi menu favorit. Tapi tidak untuk sekarang. Dua hari yang lalu saya baru saja menyantapnya.

Di saat-saat seperti ini juga, saya ingin ditemani. Saya tidak dekat dengan teman-teman satu kos, hingga saya habiskan waktu untuk menonton atau membaca di kamar sepulang dari kantor. Sendirian. Teman-teman kos terus berganti sampai saya tak punya satu saja yang dekat. Atau mungkin, memang saya yang tidak bisa dekat dengan mereka. Begitu terus hingga tak terasa sudah dua tahun saya menjalaninya.

Tiba-tiba saya teringat kos saya ketika masih mahasiswa. Saya tak akan kesepian bersama teman-teman kos saya dulu. Hanya dengan mengingatnya, hati saya menjadi hangat. Saya ingin terus mengenangnya demikian, jadi saya mulai menuliskannya dalam blog ini.

Tahun 2004 adalah awal baru dalam kehidupan remaja saya. Di tahun itu, untuk pertama kalinya saya kos, jauh dari orang tua, karena kuliah di Purwokerto (yang sebenarnya hanya butuh waktu 3,5 jam untuk sampai ke kota kecil saya). Beberapa teman SMA saya juga diterima di universitas yang sama, salah satunya adalah Rere. Dia adalah teman yang saya kenal dari SD, karena ibunya adalah guru saya. Kami bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Karena sudah tahu kami satu universitas (meskipun beda fakultas), kami memutuskan untuk tinggal di satu kos yang sama.

Dari Rere, saya dikenalkan kembali dengan Wadjoe (nama aslinya Wahyu, dan dia perempuan) dan Lucky (nama aslinya Lucky, dan dia juga perempuan). Kami berempat satu SMA sebenarnya, hanya karena saya tidak populer tidak pernah sekelas dengan Wadjoe dan Lucky, Rere merasa harus mengenalkan saya pada mereka.

Begitulah, kami berempat akhirnya mencari kos bersama-sama.

Kos impian itu berhasil kami temukan tanpa perlu mendaki gunung atau melewati lembah. Kami hanya tinggal menyeberang sungai saja, karena kos itu terletak persis di sebelah sungai dekat sawah (Sudah mulai membayangkan suasana pedesaan? Tunggu sampai saya ceritakan lanjutannya.)

Entah bagaimana dengan perasaan yang lain, namun hal pertama yang terlintas di benak saya ketika melihat kos itu terangkum dalam satu kata: rapi. Dan bersih (okay, dua kata). Rumah bakal kos kami itu terlihat kecil namun nyaman. Di depannya terdapat pohon cemara. Suara gemericik air sungai di sebelah kos membuat saya merasa betah. Ketika kaki saya menyentuh lantainya, dingin langsung menyapa.

Ibu pemilik kos muncul dengan wajah yang ramah. Dia mempersilahkan kami masuk dengan penuh semangat (Saat mengetik kalimat ini pun, saya langsung kangen keramahannya.) Setelah halaman, ada teras disusul ruang tamu. Baru setelah itu kamar-kamar. Total ada 10 kamar. Namun hanya 7 untuk anak kos. Dua yang lain untuk anak lelaki ibu kos. Ibu kos sendiri tinggal di kamar dekat dapur bersama suaminya.

Iya, konsep yang ditawarkan adalah kos yang terasa seperti rumah. Saya sangat menyukainya saat itu karena saya merasa aman, seperti di rumah. Setelah merasa cocok dengan harga (Rp 900.000/tahun) dan fasilitas yang diberi, kami pun memilih kos itu. Saya memilih kamar paling belakang dekat ruang TV. Dengan berada paling belakang, saya merasa terlindung. Di kos yang sekarang pun saya memilih kamar paling belakang .

Selain kami berempat, ada satu lagi anak seangkatan kami. Anih (memang dengan –h) namanya. Dia dari Tasik. Dia sangat pemalu dan sampai beberapa hari, kami tidak saling menyapa. Saya lupa siapa yang memulai, namun kami berlima menjadi dekat pada akhirnya.

Seperti anak kos lain, kami pun ingin memberi nama bagi kos kami. Kata mbak-mbak senior di kos yang wisuda sebentar lagi, kos kami bernama Padepokan Cemara (terdengar seperti tempat silat, eh?). Jadilah kami pun menamainya begitu. Saat hanya kami berlima yang ada, kami bahkan mengganti panggilan ibu kos menjadi Suhu.

Untuk lebih mendekatkan diri, kami punya panggilan istimewa untuk masing-masing. Mudah saja, tinggal tambahkan saja –mOn di belakang nama kami (yang sudah dimodifikasi): Yeye_mOn, WaU_mOn, LuQ_mOn, ani_mOn (ini yang paling saya suka), dan saya anggie_mOn. Oookay... agak aneh memang. Tapi dulu kami menganggapnya lucu =D

Apa artinya -mOn? Monster.

Serius.

Ini adalah idenya Rere, karena sepertinya dia penggemar Digimon: Digital Monster. Masih ingat serial itu?

Jadi, kami adalah lima monster yang tinggal di Padepokan Cemara. Setidaknya, monster dalam bayangan kami seimut Pikachu.

Well, ternyata saya tidak bisa menulis sedikit untuk menceritakan tentang Padepokan Cemara. Saya akan lanjutkan ke posting selanjutnya. Saat ini saya sudah mengantuk. It’s time to sleep, Pipol!

*Semoga ketika menulis untuk posting selanjutnya, flu saya sudah baikan. Eh, sekarang pun saya sudah merasa lebih baik :)

No comments:

Post a Comment