Ternyata saya masih flu. Suara saya sengau dan badan terasa tidak bugar. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya akan melanjutkan kisah di Padepokan Cemara.
Padepokan Cemara lebih saya rasakan sebagai ‘rumah’ daripada kos. Keempat teman yang lain pun sepertinya merasakan hal yang sama. Kami berbagi banyak hal; mulai dari camilan, curhatan, hingga kamar. Iya, beberapa kali kami tidur berlima di satu kamar. Bergantian. Kami saling cerita sampai larut malam. Saya lupa obrolan apa saja yang membuat kami tetap terjaga, namun saya ingat saya suka melakukannya.
Dari kami berlima, hanya saya dan Anih yang kuliah di fakultas yang berbeda; saya di FISIP dan Anih di Fakultas Hukum. Rere, Wadjoe dan Lucky sama-sama di Fakultas Ekonomi. Jadwal kami yang seringkali berbeda membuat kami nyaris tak pernah sarapan dan makan siang bersama-sama, kecuali Minggu. Namun makan malam selalu menyatukan kami. Kami berlima akan keluar bersama-sama, makan bersama di tempat yang kami pilih. Jika selera makan kami sedang berbeda, kami saling menunggu satu sama lain untuk membeli makanan dan memakannya bersama-sama di kos.
Di hari Minggu, sarapan favorit kami adalah nasi kuning di Jalan Kenanga. Kami harus datang awal supaya tidak mengantri lama. Tapi pun, mengantri bisa jadi menyenangkan karena saya punya empat teman lain untuk diajak mengobrol.
Kami juga punya kebiasaan menelepon di wartel pagi-pagi. Saat itu menelepon lewat HP masih mahal. Untuk menghubungi orang rumah, kami rela bangun subuh dan berjalan menembus kabut agar bisa sampai di wartel sebelum jam 6 pagi. Dengan begitu, biaya telepon jadi murah karena ada diskon sebelum jam tersebut.
Pulang dari wartel adalah kegiatan favorit saya. Untuk kembali ke kos, saya harus melewati Lapangan Grendeng, sawah, dan sungai. Udara pagi yang sejuk masih basah. Kabut sudah mulai menipis. Jika beruntung, kabut akan sepenuhnya hilang hingga kita bisa melihat hijaunya Gunung Slamet; alih-alih biru. Purwokerto pagi hari sangatlah tenang. Setidaknya, itulah yang saya ingat, dan ingin saya kenang.
Setelah hampir setahun kos di Padepokan Cemara, ibu kos mengumumkan jadwal piket harian dan mingguan. Piket harian mencakup menyapu dan membersihkan ruang tamu dan ruang TV dari debu, sementara piket mingguan termasuk melakukan piket harian ditambah mengepel. Jika ada di antara kami yang tidak bisa melakukan piket harian atau mingguan di hari itu, yang lain akan bertukar jadwal menggantikannya.
Setelah satu tahun, Lia masuk menjadi bagian dari kami. Dia dari Jogja. Lia adalah teman yang satu jurusan dengan saya. Dia pun mendapat kehormatan menjadi lia_mOn. Saya dan Lia tidak terlalu dekat pada awalnya, namun tinggal di kos yang sama dan menghabiskan banyak waktu di kelas yang sama, membuat kami tidak bisa untuk tidak dekat.
Jadilah kami sekarang enam monster yang berguru di Padepokan Cemara (eh?).
Seiring semakin dekatnya kami berenam, semakin banyak juga kegiatan yang kami lakukan dengan rutin, salah satunya adalah mengaji di hari Senin dan Kamis. Hari Senin untuk membaca Al-Quran, Kamis khusus untuk membaca Yasin. Kegiatan ini kami lakukan bergiliran di tiap-tiap kamar. Selesai mengaji, kami akan terus mengobrol di kamar atau mendengarkan lagu (atau menyanyikannya).
Di hari Minggu, kami berjalan-jalan ke GOR dan sempat membuat program senam pagi bersama. Instrukturnya adalah Wadjoe karena dia yang paling bersemangat. Sayangnya kegiatan ini tidak bertahan lama. Kami lebih memilih bangun siang di hari libur.
Kami bahkan sempat ingin membuka bisnis bersama ala mahasiswa. Ini pun tidak kesampaian karena modalnya tidak pernah cukup :D
Kegiatan rutin yang paling saya suka adalah ketika ada salah satu dari yang berulang tahun. Saya suka sibuk menyiapkan kado apa yang hendak dibeli, saya bahkan suka mendiskusikannya. Setiap yang ulang tahun pasti diberi kue dengan lilin di atasnya. Namun tetap saja, ketika giliran saya yang ulang tahun, saya terharu dengan kue dan lilin itu.
Yang lebih menyenangkan dari kue dan lilin itu adalah perhatian yang diberikan jika ada salah satu dari kami yang sakit. Teman-teman yang lain akan menanyakan kabarnya, menawarkan untuk membelikan makanan dan obat, bersedia menemani ke dokter, dan tak sungkan untuk dimintai bantuan. Perhatian yang sederhana, namun terkesan hingga sekarang. Inilah yang membuat saya menulis tentang Padepokan Cemara di sini. Ini seperti menuliskan kembali romantisme kos yang dulu.
Saya masih flu, tapi saya sudah tidak butuh sup ayam lagi. Yang sekarang saya inginkan adalah kelima teman saya itu. Kalaupun tidak bisa, biarlah saya mengingatnya saja. Dengan demikian, hati saya juga akan sama hangatnya :)
No comments:
Post a Comment