Monday, 31 March 2014

Ireland! (1)


Di sudut Dublin, gerimis membuat udara bertambah dingin – memaksa saya menutup kedua telinga dengan beanie. Sudah setengah jam saya mencari-cari The Charles Stewart Guesthouse. Saya lihat jam di tangan kiri, sudah jam 7 petang. Beda dengan London yang punya peta tiap rentang 15 menit berjalan kaki, Dublin tidak menyediakan kemudahan itu. Dari info yang saya dapat, mestinya saya hanya berjalan kaki 5 menit dari halte bus tempat saya berhenti.

Ini harusnya mudah jika saya dibantu Google Maps seperti hari-hari kemarin. Tapi internet off di Dublin. Ada settingan yang harus diubah untuk menjadikannya online, dan untuk mengubah settingan, internet harus dalam keadaan online. Ribet ya?

Sudah banyak orang yang saya tanyai. Jawabannya membuat saya malah semakin bingung. Seorang perempuan dengan yakin menunjukkan arah, dan ternyata keliru. Saya sempat ingin membeli voucher paket internet untuk Galaxy Note saya, tapi si penjual bilang dia tidak menyediakan voucher yang dimaksud.

Saat itu, saya sempat panik dan cemas. Sudah malam dan saya sendirian menggeret-geret koper, menanyakan arah. Tipikal turis. Dari yang saya baca, ini adalah jenis orang yang paling banyak diincar untuk sasaran kejahatan.

Saya sempat ingin naik taksi, tapi hey.. bagaimana saya tahu supir taksinya bisa dipercaya? Belum lagi seseorang yang saya tanyai di jalan berkata dengan tatapan khawatir, “Hati-hati di jalan, okay?”

Beruntung akal sehat saya membawa saya ke pusat keramaian. Saya berdiri di sebuah toko swalayan besar, memikirkan cara mendapat wifi gratisan.

Persis di depan swalayan itu, ada KFC. Tulisan free wifi yang tertempel di dinding kacanya seperti mengundang. Meskipun tak berselera makan, saya masuk ke dalamnya – memesan kentang goreng dan ayam krispi.

Akhirnya! Google Maps kembali bisa diaktifkan. Saya sudah paham jalan menuju The Charles Stewart Guesthouse. Tinggal berjalan lurus untuk kemudian belok kiri dari swalayan. Rasanya lega luar biasa ketika akhirnya saya rebahan di kasur.

Setelah di Wisma Indonesia saya mesti berbagi kamar dan toilet dengan orang lain, kamar di hostel ini utuh untuk saya seorang. Dengan harga per malam tak terlalu mahal, The Charles Stewart Guesthouse lebih nyaman dari yang saya bayangkan, dengan TV dan kamar mandi dalam.

Kamis 20 Februari 2014, itu adalah hari pertama saya di Dublin. Saya sampai di sana sore hari. Untuk menuju hostel, saya mesti naik bis. Seperti janji saya pada diri sendiri, Lough Erin Shore jadi lagu pertama yang saya setel. Dublin sore itu terlihat bersahabat, sesuatu yang tidak saya temukan di hiruk-pikuk London. Sayangnya, malam harinya membuat perasaan saya berubah 180 derajat karena cemas tak kunjung menemukan si Stewart.

Pengalaman hari itu membuat saya tak lagi-lagi meremehkan internet untuk jalan-jalan. Saya langsung mengaktifkan koneksi internet di tablet.

Oya, hostel tempat saya menginap kurang kedap suara. Saya bisa mendengar suara tetangga sebelah. Seperti ada dua orang perempuan di sana. Mereka menyetel lagu-lagu yang – untungnya – enak didengar. Tiba-tiba terdengar intro lagu yang saya kenali.  Sebuah lagu dari band yang membawa saya ke sini. 

Dreams dari The Corrs mengalun menembus dinding kamar. Saya tidur dengan hati bahagia.

“You Believed You Could, So You Did” (6)


Icha bilang sudah baikan pagi ini, 19 Februari 2014. Dia mengajak jalan-jalan ke Windsor Castle. Saya mengusulkan ke Stonehenge sekalian. Icha sudah berpakaian rapi, sarapan, dan… mendadak pusing. Ini hari ketiga dia sakit. Mama-papanya kuatir, beberapa kali saya dengar mamanya menelepon. Mama Icha punya kenalan orang kedutaan, jadilah berita Icha sakit sampai ke Kedutaan Indonesia untuk Inggris. Beruntung dia menginap di Wisma Indonesia. Mas-mas yang jaga baik. Mereka terus mengecek Icha, memasak bubur untuk dia. Buah-buahan selalu ada, obat juga disediakan. Mulai dari Tolak Angin hingga Panadol. Pemilik Wisma Indonesia juga mengecek kesehatan Icha. Hari ini rencanya Icha akan dibawa ke dokter.

Karena malas ke Windsor Castle sendirian – apalagi Stonehenge, saya putuskan pergi ke Notting Hill. Beda dengan hari-hari sebelumnya, saya pergi ke halte bus alih-alih Stasiun Colindale. Saya ingin melalui rute yang berbeda.

Saya tahu Notting Hill dari film Notting Hill. Saya suka filmnya, malah punya kaset OST-nya, tapi awalnya tempat ini tidak termasuk dalam daftar tujuan saya. Hanya saja Icha keukeuh saya mesti mengunjungi Notting Hill, katanya tempatnya penuh barang antik. Well.. saya mesti berterima-kasih pada Icha karena Notting Hill memang worth a visit.

Selain film, yang terkenal dari Notting Hill adalah Portobello Road Market. Pasar antik sepanjang jalan ini membuat saya betah berjalan pelan-pelan. Saya menemukan teropong model kuno buat Nanda. Bangunan sepanjang Portobello yang dicat warna-warni membuat saya merasa seperti bukan di London.




Portobello bukan hanya tentang barang antik, tapi juga seni kreatif. Salah satu yang saya temui adalah Charlotte Reed. Dia menjual buku dan poster karyanya bertema maythethoughtsbewithyou (bisa dicek di website dengan alamat tersebut). Jadi dia membuat kata-kata motivasi dengan gambar-gambar lucu. Dia mempublikasikan bukunya secara indie. Motivasi untuk memotivasi orang lain sudah lama Charlotte lakukan, namun dia seriusi setelah sakit yang memaksa dia keluar dari pekerjaannya. Dengan memotivasi orang lain, dia jadi lebih termotivasi. Keren ya?



Untuk makan siang, saya kembali ke warung East-West Oriental hehe.. Kalau kemarin makan bakso, sekarang saya makan nasi padang dengan rendang. Nasi padang ini seperti membalas bakso yang kemarin kurang pedas. Dari skala 1-10, saya beri 8.5.


Setelah kenyang makan, saya pergi ke Foyles – salah satu toko buku terbesar di London. Masuk ke dalamnya, saya langsung disambut ratusan judul buku. Saya menemukan versi cetak The Castle of Adventure di sana. Duh senangnya! Icha menitip buku tentang sejarah transportasi di London untuk bahan skripsinya; saya belikan dua.


Hari itu, entah kenapa saya rasakan jadi hari paling bahagia selama saya di London. Mungkin karena kuatir dan ragu-ragu sudah tidak ada, mungkin karena mimpi-mimpi sudah tercapai. Mungkin karena atmosfir Portobello yang unik dan Foyles yang membuat saya nyaman. Mungkin karena rendang yang super enak. Mungkin karena bertemu Charlotte yang membuat saya sadar bahwa kita bisa berkontribusi untuk dunia yang lebih baik – sekecil apapun itu. Atau mungkin.. mungkin karena saya tahu esok akan membawa saya ke Irlandia.

“You Believed You Could, So You Did” (5)



Selasa, 18 Februari 2014. Icha terlihat semakin sakit. Seharian kemarin dia habiskan di kamar. Hari ini pun Icha memilih tidak kemana-mana. Gagal sudah rencana dia pergi ke Manchester hingga Liverpool bersama teman-teman latihan Model UN-nya.

Hari itu saya rencanakan ke Stasiun King’s Cross, tempat Harry Potter pergi naik kereta ke Hogwarts. Well..tentu saja itu fiktif, tapi platform 9¾ betulan ada di sana demi penggemar Harry Potter; lengkap dengan troli yang separuh menembus dinding.



Belum pukul 10 ketika saya sampai di Stasiun King’s Cross. Rasanya itu stasiun terbesar yang saya lihat di London. Mungkin karena dua hari kemarin saya berkutat di stasiun untuk tube saja.

Oya, saya sudah bilang belum kalau kemana-mana saya dibantu Google Maps? Saya benar-benar terbantu dengan aplikasi yang ada di tablet ini. Ketika mencari Platform 9¾, saya percayakan Google Maps untuk memandu.

Masih pagi namun sudah lumayan yang mengantri. Saya tidak ikut berfoto, malah masuk ke Harry Potter Shop yang ada di sebelahnya. Tokonya kecil, banyaknya pengunjung membuatnya semakin terasa sempit. Pernak-pernik Harry Potter ada di situ, mulai dari seragam empat asrama di Hogwarts hingga tongkat karakter di Harry Potter.





Sebenarnya saya ingin beli sepaket lengkap seragam Gryffindor: mulai dari cardigan, dasi, hingga syal dengan nuansa merah-emas. Tapi harganya mahal.. banget. Jadilah saya cuma beli pin berlogo Hogwarts.

Menjelang makan siang, saya pergi ke Charing Cross. Katanya ada warung makan Indonesia di sana. Sudah lama saya ingin makan bakso.

Nama warungnya East-West Oriental. Dan ini betulan warung ya, bukan resto atau café. Tempatnya menyempil di pojok, di tengah hiruk-pikuk China Town. Saya nyasar memutarinya beberapa kali, sebelum saya ngeh kalau warungnya ada di lantai atas deretan ruko.

Saya pembeli pertama yang datang. Beda dengan yang saya baca di website, warung ini tidak selengkap yang saya bayangkan. Hanya ada bakso dan rendang di sana. Dari ulasan-ulasan yang saya baca, katanya ada batagor dan jajanan Indonesia lainnya. Mungkin pelanggannya semakin berkurang hingga mereka juga mesti mengurangi variasi menu. Beruntung bakso masih ada dalam daftar. Rasanya baksonya enak, hanya kuahnya kurang gurih. Dan sayangnya, tidak ada sambal rawit di sana, hanya saus tomat.


Kenyang makan bakso, saya ingin nonton film di bioskop. Saya batalkan setelah tahu jadwal film yang ingin saya tonton masih dua jam-an lagi.

Tiba-tiba hujan turun deras. Saya tidak membawa payung, bingung mau berteduh dimana. Udara semakin dingin. Saya mesti masuk ke suatu tempat jika tidak ingin jatuh sakit.

Awalnya saya ingin ke McD, tapi demi melihat ramai pengunjung, saya putuskan ke Haagen-Dazs. Masih ada meja kosong di situ. Saya duduk di meja untuk dua orang. Meskipun dingin, saya pesan es krim dengan waffle. Mungkin rasanya akan jauh lebih enak kalau saja saya belum kenyang makan bakso.

Setelah hujan reda, saya berjalan menuju Piccadilly Circus – melewati mas-mas ganteng pemain bagpipe. Dari sana saya terus berjalan ke arah Victoria Street yang terkenal dengan deretan toko-toko high-end-nya. Di ujung, Oxford Circus sudah menanti.



Dari Oxford Circus, saya naik tube ke Camden Market. Orang-orang bilang ini tempat oleh-oleh paling murah di Inggris. Belakangan saya pikir harga di Camden sama saja dengan harga di toko-toko daerah turis lainnya. Sebelas-dua belas. 

 
Karena kemarin sempat pulang ketika hari agak gelap, saya putuskan pulang lebih awal hari ini. Saya masih suka takut melewati taman yang sepi sendirian selepas Stasiun Colindale. London mungkin masih aman sejauh ini, tapi well..saya tidak mau ambil resiko.

“You Believed You Could, So You Did” (4)


Senin pagi. Saya bangun dengan perasaan ringan. Kekhawatiran saya tentang rumitnya jalan-jalan di London sendirian berganti rasa percaya diri setelah jalan-jalan kemarin.

Oya, Icha sakit sejak pulang dari Abbey Road. Mungkin terlalu lelah karena Icha bilang beberapa hari sebelumnya dia jalan-jalan ke sepuluh tempat sekaligus dalam waktu sehari. SEPULUH TEMPAT! Ditambah katanya waktu itu sempat hujan. Jadilah capek itu terakumulasi.

Pagi itu saya dapat kenalan baru lagi di Wisma Indonesia. Seorang perempuan berusia 30-an. Dia semacam wakil dari universitas di Inggris untuk Indonesia. Malam sebelumnya saya kenalan dengan seorang bapak yang ternyata anggota DPD – sedang dinas dia bilang, juga dengan sekeluarga – bapak, ibu, dan dua orang anak – yang ke Inggris buat jalan-jalan. Icha sendiri akan mengikuti Model UN 2014, namun dia datang semingguan lebih awal untuk menjelajah London.

Sarapan di Wisma Indonesia selalu enak. Pokoknya tidak rugi menginap di sana. Saya rekomendasikan buat yang ingin ke London. Serius. Hari itu sarapannya nasi dan ayam. Karena porsinya yang besar, saya hanya makan setengah. Setengah yang lain saya bawa buat bekal makan siang. Lumayan mengirit uang jajan. Ide ini saya dapat dari Icha.

Seperti sudah terbiasa, saya berjalan ke Stasiun Colindale. Dari sana, saya naik tube dan turun di Warren Street. Keluar stasiun, saya cari pemberhentian Bus 18. Tidak ada lima menit, saya sudah naik double-decker. Tipikal orang yang baru pertama kali naik bis tingkat, saya duduk di kursi atas. Hanya ada saya dan satu lelaki di bagian atas ini. Perjalanan diisi dengan hening.

Layar kecil menunjukkan halte bis tujuan saya sudah dekat: Baker Street. Saya turun melalui tangga kecil. Di bawah, beberapa penumpang berdiri, mengantisipasi bis berhenti. Beda dengan OV-Chipkaart yang mana kita harus menge-tap saat naik dan juga turun dari bis, Oyster hanya di-tap ketika naik bis.

Turun dari bis, tempat tujuan saya langsung nampak di hadapan. Saat itu rasanya.. rasanya saya ingin meluncur ke beberapa belas tahun yang lalu, untuk menemui diri saya di usia 13-an. Saya ingin menepuk bahunya dan bilang, “You will make it, Kid!

Tempat yang jadi destinasi pertama saya hari itu adalah museum lilin Madame Tussauds. Saya pertama kali membaca tentang Madame Tussauds London di majalah Kartini, di usia belasan. Saya masih ingat ada dua foto aktor dengan pose sama, pembaca diminta menebak mana yang patung lilin, mana yang aktor betulan. Tebakan saya meleset, dan saya takjub! Bagaimana mungkin mata saya bisa tertipu? Sejak saat itu, saya ingin ke Madame Tussauds London.

Well, Madame Tussauds bukan hanya ada di London. Kalau saya mau, saya bisa pergi ke Madame Tussauds Bangkok atau bahkan Amsterdam – yang paling dekat dengan saya saat ini. Tapi Madame Tussauds London punya makna lebih. Orang-orang yang sentimentil macam saya pasti tahu bedanya. Ini bukan hanya tentang Madame Tussauds. Ini tentang Madame Tussauds London.

Saya sudah membeli tiketnya sejak masih di Belanda. Saya beli yang satu paket dengan London Eye supaya hemat. Baru beberapa orang yang sudah mengantri di samping pintu masuk. Saya menunjukkan print tiket online saya, kemudian petugas memberi saya tiket Madame Tussauds dan London Eye sekaligus.

Dari lobi, saya dan beberapa orang lainnya naik lift. Begitu keluar, ada suara jepretan kamera dan blitz, seolah-olah kami selebritis yang sedang melewati karpet merah.

Museum belum terlalu penuh. Orang-orang nampak berpose dengan patung-patung lilin penjelmaan idola mereka. Saya pergi ke tempat yang paling sepi pengunjung – tempat artis Bollywood macam Shah Rukh Khan hingga Aishwarya Rai.

Patung di Madame Tussauds dibuat dengan detail yang luar biasa. Kerutan hingga titik-titik noda di wajah terlihat sempurna. Kumis tipis dan cambang halus juga nampak alami. Bagian yang paling tricky mungkin pembuatan mata. Meskipun saya yakin mereka punya standar detail yang sama, namun beberapa patung terlihat hidup, sementara yang lain nampak kosong.

Anyway, dari Bollywood saya bergeser ke kiri. Hermione – uh.. maksud saya Emma Watson – sudah menunggu. Saya sempat mencari-cari Daniel Radcliff dan Rupert Grint, yang ternyata tidak ada. Sebagai gantinya, ada dua hottie Robert Pattinson dan Taylor Lautner.


Agak susah kalau datang sendirian di museum ini, terutama kalau kita juga ingin difoto. Semua orang sibuk foto-foto berbagai macam pose. Semakin tersohor artis, semakin panjang pula antriannya. Beberapa patung seleb macam One Direction bahkan perlu tali untuk mengatur antrian.


Dari tempat saya semula, saya pindah ke ruangan lain berisi tokoh-tokoh ikonik seperti Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.), Charlie Chaplin, Sister Mary Clarence (Whoopi Goldberg) dan Audrey Hepburn dengan style ala Breakfast at Tiffany’s-nya. Setelah itu, saya masuk ke bagian Sports dan mengambil foto Rafael Nadal (untuk Kimi) dan Jose Mourinho (untuk Ema dan Nanda).

Dari sana, saya menuju ruangan Royal Family. Pangeran Harry berdampingan dengan Pangeran Charles dan Camilla Parker. Sementara di panggung utama, ada Ratu Elizabeth dengan Pangeran Philip – bersebelahan dengan Pangeran William dan Katen Middleton. Yang menarik perhatian saya, Putri Diana berdiri terpisah; sendirian.


Setelah Royal Family, saya melewati ruangan khusus ilmuwan macam Einstein dan menuju tempat para pesohor di bidang musik – dari Elvis Presley sampai Adele. Sementara yang lain berdiri, The Beatles tampil beda dengan duduk di sofa coklat panjang sambil membawa gitar dan stik drum. Well, Justin Bieber juga ada tapi versi dia masih berponi pinggir. Dibanding yang lainnya, Bieber termasuk yang sepi pengunjung. Beberapa gadis kecil hanya memandang kemudian melewatinya. Kasus DUI-nya baru-baru ini mungkin membawa pengaruh juga ke penggemarnya.


Berikutnya, saya masuk ke ruangan para pemimpin dunia. Perdana Menteri Inggris David Cameron disandingkan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Saya sempat berharap patung Soekarno juga ada di Madame Tussauds London seperti yang ada di Bangkok. Asia diwakili oleh mantan Perdana Menteri India Indira Gandhi. Untuk tokoh perdamaian dunia (dilambangkan dengan merpati putih sebagai background), ada Martin Luther King, Jr., Nelson Mandela, Dalai Lama, dan Mustafa Kemal Ataturk.

Saya skip Chamber of Horrors dan langsung menuju ruangan pembuatan patung. Di situ, saya lihat patung Madame Tussauds. Agak spooky dan misterius, mungkin karena baju serba hitam yang dia pakai.


Itu adalah ruangan terakhir yang saya datangi, karena selanjutnya adalah atraksi.

Spirit of London jadi atraksi pertama. Ini semacam Istana Boneka-nya Dufan. Maksimal dua orang dalam satu kereta. Karena datang sendiri, saya naik keretanya sendirian. Sayang dilarang memotret di sini.

Di awal-awal, di kisahkan London yang suram. Wabah penyakit merajalela, orang-orang kelaparan. Tikus-tikus berkeliaran. Kemudian muncul Revolusi Industri. Asap-asap muncul dari cerobong pabrik. Selanjutnya.. saya lupa -____-“ Intinya London kemudian berkembang dan bertambah maju.

Atraksi selanjutnya adalah Marvel Super Heroes. Ini adalah tayangan film 4D. Ceritanya berkisah tentang pahlawan super yang berjuang menyelamatkan bumi. Ada Iron Man, Spiderman, Hulk, Wolverin, dan Captain America melawan Dr. Doom. Efek 4D-nya juara! Kita bisa merasakan tusukan kuku tajam Wolverin, sinar laser Iron Man dan bersin (ewww..) Hulk. Mungkin karena ini pengalaman pertama saya nonton film 4D, saya jadi belum punya pembanding.


Marvel Super Heroes adalah atraksi penutup di Madame Tussauds. Dari museum, saya naik Tube ke Stasiun Westminster.

Keluar dari stasiun, Big Ben tampak di depan mata. Saya mengambil arah kanan, berbelok melewati Westminster Abbey. Melihat ada taman, saya duduk di sana membuka bekal makan siang; memandangi Big Ben-House of Parliament yang persis ada di hadapan. Makan siang belum pernah semewah ini.

Selesai makan, saya berjalan menyusuri petunjuk peta. Tujuan saya adalah London Eye. Saya melewati Westminster Bridge – sempat berfoto dengan latar belakang Big Ben – kemudian langsung menukarkan voucher London Eye menjadi tiket.

Antrian London Eye sangat panjang, tetapi rotasinya lumayan cepat juga. Tidak ada setengah jam, saya sudah berada di atas bersama belasan orang lainnya.


April tahun lalu, saya naik Singapore Flyer dengan teman saya Mitha. Saya bilang padanya saya ingin mencoba Singapore Flyer sebelum London Eye. Saat itu, tak pernah terpikir bahwa tak ada setahun setelahnya, saya kembali mengulang percakapan tersebut dalam hati sambil memandangi St. Paul Cathedral dari ketinggian 135 meter.

London Eye juga punya atraksi 4D. Tak mau rugi, saya menonton atraksi itu. Favorit saya adalah ketika ada adegan seorang wanita yang menari dengan taburan mawar. Wangi bunga langsung semerbak di ruangan.

Dari London Eye, saya menyusuri South Bank.

Tak lama, saya sudah duduk di bangku taman – popcorn dalam genggaman – melepas lelah setelah berjalan menyusuri South Bank sesorean itu. Sungai Thames ada di hadapan, airnya tenang – lebih lebar dari yang saya bayangkan. Di sudut kiri, London Eye masih tertangkap mata. Orang-orang lalu-lalang, beberapa berhenti demi melihat atraksi musisi ataupun penampil jalanan. Sore yang sibuk. Meskipun musim dingin belum sepenuhnya usai, matahari yang hangat sore itu seperti membawa musim semi datang lebih awal. Untuk kesekian ratus kalinya hari itu, saya katakan pada diri sendiri, “You made it, Kid!”

Saya terus berjalan melewati jembatan-jembatan London: Hungerford Bridge, Waterloo Bridge, Blackfriars Bridge, Millenium Bridge, London Bridge hingga tujuan saya Tower Bridge. Oya, masih banyak orang yang keliru menyebut Tower Bridge menjadi London Bridge. Gampangnya, jembatan (yang bisa membelah jadi dua) di filmnya Spice Girls itu Tower Bridge. Pantas banyak yang suka South Bank. Tempatnya enak buat jalan-jalan. Banyak kursi panjang untuk duduk-duduk santai memandangi Sungai Thames. Ada lapak-lapak penjual buku-buku bekas di sana. Juga tempat anak-anak mudanya berlatih skateboard.


Tower Bridge jadi destinasi terakhir saya hari itu. Sudah petang ketika saya memutuskan pulang.