Di sudut Dublin, gerimis membuat
udara bertambah dingin – memaksa saya menutup kedua telinga dengan beanie. Sudah setengah jam saya
mencari-cari The Charles Stewart Guesthouse. Saya lihat jam di tangan kiri,
sudah jam 7 petang. Beda dengan London yang punya peta tiap rentang 15 menit
berjalan kaki, Dublin tidak menyediakan kemudahan itu. Dari info yang saya
dapat, mestinya saya hanya berjalan kaki 5 menit dari halte bus tempat saya
berhenti.
Ini harusnya mudah jika saya dibantu Google Maps seperti hari-hari kemarin. Tapi internet off di Dublin. Ada settingan yang harus diubah untuk menjadikannya online, dan untuk mengubah settingan, internet harus dalam keadaan online. Ribet ya?
Sudah banyak orang yang saya tanyai. Jawabannya membuat saya malah semakin bingung. Seorang perempuan dengan yakin menunjukkan arah, dan ternyata keliru. Saya sempat ingin membeli voucher paket internet untuk Galaxy Note saya, tapi si penjual bilang dia tidak menyediakan voucher yang dimaksud.
Saat itu, saya sempat panik dan cemas. Sudah malam dan saya sendirian menggeret-geret koper, menanyakan arah. Tipikal turis. Dari yang saya baca, ini adalah jenis orang yang paling banyak diincar untuk sasaran kejahatan.
Saya sempat ingin naik taksi, tapi hey.. bagaimana saya tahu supir taksinya bisa dipercaya? Belum lagi seseorang yang saya tanyai di jalan berkata dengan tatapan khawatir, “Hati-hati di jalan, okay?”
Beruntung akal sehat saya membawa saya ke pusat keramaian. Saya berdiri di sebuah toko swalayan besar, memikirkan cara mendapat wifi gratisan.
Persis di depan swalayan itu, ada KFC. Tulisan free wifi yang tertempel di dinding kacanya seperti mengundang. Meskipun tak berselera makan, saya masuk ke dalamnya – memesan kentang goreng dan ayam krispi.
Akhirnya! Google Maps kembali bisa diaktifkan. Saya sudah paham jalan menuju The Charles Stewart Guesthouse. Tinggal berjalan lurus untuk kemudian belok kiri dari swalayan. Rasanya lega luar biasa ketika akhirnya saya rebahan di kasur.
Setelah di Wisma Indonesia saya mesti berbagi kamar dan toilet dengan orang lain, kamar di hostel ini utuh untuk saya seorang. Dengan harga per malam tak terlalu mahal, The Charles Stewart Guesthouse lebih nyaman dari yang saya bayangkan, dengan TV dan kamar mandi dalam.
Kamis 20 Februari 2014, itu adalah hari pertama saya di Dublin. Saya sampai di sana sore hari. Untuk menuju hostel, saya mesti naik bis. Seperti janji saya pada diri sendiri, Lough Erin Shore jadi lagu pertama yang saya setel. Dublin sore itu terlihat bersahabat, sesuatu yang tidak saya temukan di hiruk-pikuk London. Sayangnya, malam harinya membuat perasaan saya berubah 180 derajat karena cemas tak kunjung menemukan si Stewart.
Pengalaman hari itu membuat saya tak lagi-lagi meremehkan internet untuk jalan-jalan. Saya langsung mengaktifkan koneksi internet di tablet.
Oya, hostel tempat saya menginap kurang kedap suara. Saya bisa mendengar suara tetangga sebelah. Seperti ada dua orang perempuan di sana. Mereka menyetel lagu-lagu yang – untungnya – enak didengar. Tiba-tiba terdengar intro lagu yang saya kenali. Sebuah lagu dari band yang membawa saya ke sini.
Dreams dari The Corrs mengalun menembus dinding kamar. Saya tidur dengan hati bahagia.
Ini harusnya mudah jika saya dibantu Google Maps seperti hari-hari kemarin. Tapi internet off di Dublin. Ada settingan yang harus diubah untuk menjadikannya online, dan untuk mengubah settingan, internet harus dalam keadaan online. Ribet ya?
Sudah banyak orang yang saya tanyai. Jawabannya membuat saya malah semakin bingung. Seorang perempuan dengan yakin menunjukkan arah, dan ternyata keliru. Saya sempat ingin membeli voucher paket internet untuk Galaxy Note saya, tapi si penjual bilang dia tidak menyediakan voucher yang dimaksud.
Saat itu, saya sempat panik dan cemas. Sudah malam dan saya sendirian menggeret-geret koper, menanyakan arah. Tipikal turis. Dari yang saya baca, ini adalah jenis orang yang paling banyak diincar untuk sasaran kejahatan.
Saya sempat ingin naik taksi, tapi hey.. bagaimana saya tahu supir taksinya bisa dipercaya? Belum lagi seseorang yang saya tanyai di jalan berkata dengan tatapan khawatir, “Hati-hati di jalan, okay?”
Beruntung akal sehat saya membawa saya ke pusat keramaian. Saya berdiri di sebuah toko swalayan besar, memikirkan cara mendapat wifi gratisan.
Persis di depan swalayan itu, ada KFC. Tulisan free wifi yang tertempel di dinding kacanya seperti mengundang. Meskipun tak berselera makan, saya masuk ke dalamnya – memesan kentang goreng dan ayam krispi.
Akhirnya! Google Maps kembali bisa diaktifkan. Saya sudah paham jalan menuju The Charles Stewart Guesthouse. Tinggal berjalan lurus untuk kemudian belok kiri dari swalayan. Rasanya lega luar biasa ketika akhirnya saya rebahan di kasur.
Setelah di Wisma Indonesia saya mesti berbagi kamar dan toilet dengan orang lain, kamar di hostel ini utuh untuk saya seorang. Dengan harga per malam tak terlalu mahal, The Charles Stewart Guesthouse lebih nyaman dari yang saya bayangkan, dengan TV dan kamar mandi dalam.
Kamis 20 Februari 2014, itu adalah hari pertama saya di Dublin. Saya sampai di sana sore hari. Untuk menuju hostel, saya mesti naik bis. Seperti janji saya pada diri sendiri, Lough Erin Shore jadi lagu pertama yang saya setel. Dublin sore itu terlihat bersahabat, sesuatu yang tidak saya temukan di hiruk-pikuk London. Sayangnya, malam harinya membuat perasaan saya berubah 180 derajat karena cemas tak kunjung menemukan si Stewart.
Pengalaman hari itu membuat saya tak lagi-lagi meremehkan internet untuk jalan-jalan. Saya langsung mengaktifkan koneksi internet di tablet.
Oya, hostel tempat saya menginap kurang kedap suara. Saya bisa mendengar suara tetangga sebelah. Seperti ada dua orang perempuan di sana. Mereka menyetel lagu-lagu yang – untungnya – enak didengar. Tiba-tiba terdengar intro lagu yang saya kenali. Sebuah lagu dari band yang membawa saya ke sini.
Dreams dari The Corrs mengalun menembus dinding kamar. Saya tidur dengan hati bahagia.