Monday 17 March 2014

“You Believed You Could, So You Did” (1)

Saya duduk di bangku taman – popcorn dalam genggaman – melepas lelah setelah berjalan menyusuri South Bank. Sungai Thames ada di hadapan, airnya tenang – lebih lebar dari yang saya bayangkan. Di sudut kiri, London Eye masih tertangkap mata. Orang-orang lalu-lalang, beberapa berhenti demi melihat atraksi musisi ataupun penampil jalanan. Sore yang sibuk. Meskipun musim dingin belum sepenuhnya usai, matahari yang hangat sore itu seperti membawa musim semi datang lebih awal. Untuk kesekian ratus kalinya hari itu, saya katakan pada diri sendiri, “You made it, Kid!”  

***

Inggris masuk dalam daftar tiga besar destinasi impian saya, bersama dengan Irlandia dan Jepang. Teman yang mengenal saya dengan baik pasti tahu betapa saya memendam rindu untuk mengunjungi ketiganya. Dan oh, karena impian ke Jepang sudah terkabul, keinginan ke Inggris dan Irlandia semakin kuat. Ibarat dulu hati saya terbagi tiga, kini hanya untuk dua.

Sejak saya mulai kerja di tahun 2009, saya selalu menabung untuk rencana pergi ke Inggris dan Irlandia. Saat itu posisi Jepang di urutan ketiga. Inggris dan Irlandia berdekatan jadi logis jika dua negara itu jadi fokus utama. Tapi menabung saja tidak cukup meskipun saya rela menghabiskan seluruh tabungan untuk dua negara itu. Masalahnya, saya tidak punya teman untuk diajak pergi bersama ke sana. Oh, teman-teman saya sama cintanya dengan Inggris seperti saya. Bahasan mengenai Inggris sering muncul dalam percakapan kami. Tapi hanya sebatas itu. Belum ada yang punya rencana real untuk pergi ke Inggris, let alone Ireland. Saat itu, saya tidak berani pergi sendirian. Bayangan jalan-jalan sendirian di negara yang beribu-ribu mil jauhnya dari Tanah Air membuat saya mual.

Ada saatnya ketika saya melihat-lihat buku-buku travelling dengan tujuan Inggris di Gramedia atau Periplus, muncul perasaan sedih yang dalam. Pun ketika akhirnya saya membeli buku-buku itu, merekamnya dalam hati, mengingat-ingat tempat untuk dikunjungi, pertanyaan selanjutnya adalah, “Lalu apa?”

Lalu apa? Well, kuliah di Eropa jadi salah satu opsi demi bisa ke Inggris. Saya tahu mendapat beasiswa ke Inggris sangat sulit, hingga akhirnya saya membelokkan tujuan untuk kuliah di Belanda. Yang penting Eropa. Yang penting dekat dengan Inggris. Begitulah. Dengan niat sungguh-sungguh dan campur tangan Tuhan Yang Maha Baik, saya mendapat salah satu beasiswa prestisius dari Pemerintah Belanda hingga September tahun lalu saya menjejakkan kaki di Eropa.

Selama rentang waktu tiga bulan setelah sampai di Belanda, saya tak diijinkan pergi ke negara-negara Eropa lainnya. Baru setelah mendapat residence permit, saya segera menyusun rencana untuk pergi ke Inggris.

Desember 2013 saya apply visa UK di Dusseldorf, Jerman. Di bulan yang sama, visa saya di-approve. Tak membuang waktu, bulan berikutnya saya apply visa Irlandia. Hanya butuh satu minggu sebelum akhirnya visa Irlandia tertempel di paspor hijau saya.

Pun demikian, masalah klasik kembali muncul. Saya masih tak punya teman untuk diajak ke Inggris. Saya coba mengajak siapapun untuk pergi bareng – mulai dari teman kantor yang sama-sama kuliah di Belanda, teman kampus, sampai member komunitas Backpacker Dunia. Hasilnya, tak ada yang bisa. Entah karena jadwal tak cocok, malas mengurus visa, ataupun karena ongkos yang mahal.

Tapi hey, saya sudah empat bulan di Eropa. Saya sudah terbiasa menyusuri jalanan di Belanda sendirian. Selain Jerman, saya sudah pernah pergi ke Prancis dan mampir sebentar di Belgia. Secara psikologis, Inggris terasa dekat karena kini saya tinggal di Belanda. Ini kesempatan untuk pergi ke Inggris. Saya akan membenci diri sendiri kalau sampai menyia-nyiakan kesempatan ini.

Karena pergi sendiri, saya menyiapkan semuanya dengan cermat. Saya sudah booking tiket pesawat pp dan tiket semua tempat yang ingin saya datangi: Madame Tussauds, Chelsea FC, London Eye. Saya sudah pula memesan kamar di Wisma Indonesia, dan fasilitas penjemputan di Bandara Heathrow. Tak hanya itu, saya membuat itinerary dan membuatnya sedetail mungkin, lengkap dengan alamat dan kontak yang bisa dihubungi. Saya kirimkan itinerary ke keluarga di rumah dan dua teman dekat, plus memberi jaga-jaga kalau ada apa-apa. Karena sendirian, jadwal jalan-jalan mentok di jam 5 sore. Artinya, lewat waktu tersebut berarti saya sudah balik ke wisma. Rencana jalan-jalan sendirian membuat saya bertanggung-jawab penuh pada diri sendiri, membuat saya mawas diri bahkan sebelum sampai di sana.

Intro yang saya tulis di awal adalah hari ketiga saya di London. I warn you, tulisan ini akan sangat panjang. Oleh karenanya, saya akan membaginya dalam beberapa postingan. Ijinkan saya memulainya di Bandara Schipol, 15 Februari yang lalu.

No comments:

Post a Comment