Monday, 17 March 2014

“You Believed You Could, So You Did” (2)

Sabtu, 15 Februari 2014. Untuk kali kedua, saya ke Bandara Schipol. Yang pertama adalah lima bulan sebelumnya saat saya pertama kali datang ke Belanda. Pagi itu Schipol sudah mulai sibuk. Mungkin karena bertepatan dengan musim libur.

Saya menyelempangkan tas coklat di tangan kanan, menggeret koper kabin berwarna pink. Saya melangkah menuju konter British Airways, datang tiga jam lebih cepat dari waktu keberangkatan – meskipun sehari sebelumnya saya sudah check in online.

Your flight is cancelled,” kata petugas ketika melihat boarding pass saya.

Wait, what?

Angin memang sedang kencang-kencangnya hari itu. Untuk berjalan ke halte bis di seberang apartemen saja membutuhkan tenaga ekstra. Inggris yang tengah dilanda banjir juga kabarnya membuat beberapa pesawat dibatalkan.

Si petugas mengecek komputer di depannya, tersenyum ketika bilang masih ada kursi kosong untuk penerbangan sebelumnya.

Penerbangan sebelumnya? Iya, jadwal saya dimajukan dan saya hanya punya 20 menit sebelum gate ditutup. Dia menyorongkan boarding pass baru untuk saya. Tak menunggu lama, saya setengah berlari ke gate yang tertulis di boarding pass. 

Setelah melewati Imigrasi dengan mudah (petugas imigrasinya ganteng dan mengajak saya ngobrol dengan Bahasa Indonesia, serius), saya diperiksa sebelum masuk gate. Jaket, syal, dan sepatu saya tanggalkan. Saya masuk ke sebuah tabung x-ray dimana saya harus mengangkat kedua tangan dengan kaki menapak pada titik yang telah ditentukan. Pun setelah itu, saya masih diperiksa ‘manual’ oleh petugas perempuan. Well, ketat juga penjagaannya.

Tak lama, saya sudah masuk dalam antrian masuk pesawat. British Airways! Saya bisa saja memilih budget airline seperti RyanAir. Tapi ini British Airways! Dan saya ingin Bandara Heathrow – bandara utama Inggris – yang pertama saya datangi, bukannya bandara-bandara lain seperti Luton atau Stansted. Lebih dari itu, saya dapat harga lumayan murah karena pesan jauh-jauh hari sebelumnya.

Saya duduk di kursi tengah, deretan kursi tengah. Sebelah kanan saya bapak-bapak, sebelah kiri ibu-ibu. Aksen Inggris mulai terdengar. Duh, betapa saya ingin mendengar langsung aksen ini di negara asalnya!

Setelah duduk lama, ada pengumuman kalau pesawat di-delay. 1.5 jam delay dan kami mesti menunggu di dalam pesawat. Orang-orang merutuk. Well, ini sih artinya saya balik lagi ke jadwal semula.

Mungkin ada benarnya sih penundaan ini. Seperti yang saya bilang, angin sedang kencang-kencangnya. Bahkan saat pesawat masih menapak tanah pun, goncangan karena angin sudah terasa.

Ketika akhirnya pesawat take off pukul 12.30-an, pilot sudah mewanti-wanti kalau perjalanan akan dipenuhi dengan goncangan. Nervous, saya alihkan perhatian dengan baca-baca majalah.

Selama satu jam dua puluh menit perjalanan, pramugari dua kali menghampiri. Yang pertama saya dikasih snack berupa kacang bungkus ”premium”, yang kedua saya ditawari minuman. Saya memilih jus tomat karena mengharapkan sesuatu yang segar. Salah besar. Rasa jus tomatnya hampir mirip saus sachet-an, hanya saja tidak pedas dan lebih cair. Ini untuk minuman lho. Saya tak menghabiskannya, takut malah jadi menghancurkan mood.

Sampai di Heathrow, saya belum sepenuhnya sampai Inggris sebelum melewati petugas Imigrasi. Saya deg-degan juga, dua perempuan – satu bule dan satu asia – yang satu deret antrian dengan saya tertahan dan disuruh menunggu di kursi panjang. Salah satunya menangis. Giliran saya, petugas menanyakan tempat saya tinggal di London dan apa yang saya kerjakan di Belanda. Dia juga menanyakan pekerjaan saya di Indonesia. Setelah tahu saya pegawai pemerintah, petugas tak bertanya macam-macam lagi. Dia langsung memberi stempel. It’s official. London, I’m coooooming!





Saya minta driver dari Wisma Indonesia menjemput saya pukul 5 sore. Sengaja saya beri jeda supaya saya bisa mengeksplor Heathrow. Well, ternyata bandara utama Inggris ini biasa saja. Saya pikir bakalan semewah Changi. Sambil menunggu, saya ke toko buku, membeli sandwich, dan berakhir di Krispy Kreme minum coklat panas dan donat.

Pukul 5 tepat, driver menjemput saya. Mobil yang dia bawa setipe Suzuki APV tapi lebih besar lagi – terasa kosong karena hanya saya seorang yang dijemput. Driver dari Pakistan ini ramah dan sopan. Dia menjelaskan tempat-tempat yang kami lalui, sambil memberi tips jalan-jalan di London, juga merekomendasikan makanan halal dekat wisma.

Tak sampai satu jam, saya sampai di Wisma Indonesia, di daerah Colindale – utara London. Suasana homey langsung terasa begitu saya masuk. Nyaman. Datang-datang, saya langsung dibuatkan Indomie goreng sama mas yang jaga. Kamar saya ada di lantai dua, berbagi dengan dua perempuan lain, salah satunya bernama Icha. Icha sudah datang sejak dua atau tiga hari sebelumnya. Kelak, Icha inilah yang jadi teman sekamar saya beberapa hari selanjutnya karena teman yang lain hanya menginap semalam di sana.



Kesan saya di hari pertama di London? Well, tak ada yang begitu istimewa. Perasaan saya campur-aduk antara menganggap ini surreal hingga lelah karena delay yang lama dan goncangan pesawat sepanjang jalan, juga rasa jus tomat yang masih saja menempel di lidah (jangan tanya baunya seperti apa).

Dan oh, petualangan yang sesungguhnya baru dimulai esok hari.

No comments:

Post a Comment