Monday, 31 March 2014

“You Believed You Could, So You Did” (4)


Senin pagi. Saya bangun dengan perasaan ringan. Kekhawatiran saya tentang rumitnya jalan-jalan di London sendirian berganti rasa percaya diri setelah jalan-jalan kemarin.

Oya, Icha sakit sejak pulang dari Abbey Road. Mungkin terlalu lelah karena Icha bilang beberapa hari sebelumnya dia jalan-jalan ke sepuluh tempat sekaligus dalam waktu sehari. SEPULUH TEMPAT! Ditambah katanya waktu itu sempat hujan. Jadilah capek itu terakumulasi.

Pagi itu saya dapat kenalan baru lagi di Wisma Indonesia. Seorang perempuan berusia 30-an. Dia semacam wakil dari universitas di Inggris untuk Indonesia. Malam sebelumnya saya kenalan dengan seorang bapak yang ternyata anggota DPD – sedang dinas dia bilang, juga dengan sekeluarga – bapak, ibu, dan dua orang anak – yang ke Inggris buat jalan-jalan. Icha sendiri akan mengikuti Model UN 2014, namun dia datang semingguan lebih awal untuk menjelajah London.

Sarapan di Wisma Indonesia selalu enak. Pokoknya tidak rugi menginap di sana. Saya rekomendasikan buat yang ingin ke London. Serius. Hari itu sarapannya nasi dan ayam. Karena porsinya yang besar, saya hanya makan setengah. Setengah yang lain saya bawa buat bekal makan siang. Lumayan mengirit uang jajan. Ide ini saya dapat dari Icha.

Seperti sudah terbiasa, saya berjalan ke Stasiun Colindale. Dari sana, saya naik tube dan turun di Warren Street. Keluar stasiun, saya cari pemberhentian Bus 18. Tidak ada lima menit, saya sudah naik double-decker. Tipikal orang yang baru pertama kali naik bis tingkat, saya duduk di kursi atas. Hanya ada saya dan satu lelaki di bagian atas ini. Perjalanan diisi dengan hening.

Layar kecil menunjukkan halte bis tujuan saya sudah dekat: Baker Street. Saya turun melalui tangga kecil. Di bawah, beberapa penumpang berdiri, mengantisipasi bis berhenti. Beda dengan OV-Chipkaart yang mana kita harus menge-tap saat naik dan juga turun dari bis, Oyster hanya di-tap ketika naik bis.

Turun dari bis, tempat tujuan saya langsung nampak di hadapan. Saat itu rasanya.. rasanya saya ingin meluncur ke beberapa belas tahun yang lalu, untuk menemui diri saya di usia 13-an. Saya ingin menepuk bahunya dan bilang, “You will make it, Kid!

Tempat yang jadi destinasi pertama saya hari itu adalah museum lilin Madame Tussauds. Saya pertama kali membaca tentang Madame Tussauds London di majalah Kartini, di usia belasan. Saya masih ingat ada dua foto aktor dengan pose sama, pembaca diminta menebak mana yang patung lilin, mana yang aktor betulan. Tebakan saya meleset, dan saya takjub! Bagaimana mungkin mata saya bisa tertipu? Sejak saat itu, saya ingin ke Madame Tussauds London.

Well, Madame Tussauds bukan hanya ada di London. Kalau saya mau, saya bisa pergi ke Madame Tussauds Bangkok atau bahkan Amsterdam – yang paling dekat dengan saya saat ini. Tapi Madame Tussauds London punya makna lebih. Orang-orang yang sentimentil macam saya pasti tahu bedanya. Ini bukan hanya tentang Madame Tussauds. Ini tentang Madame Tussauds London.

Saya sudah membeli tiketnya sejak masih di Belanda. Saya beli yang satu paket dengan London Eye supaya hemat. Baru beberapa orang yang sudah mengantri di samping pintu masuk. Saya menunjukkan print tiket online saya, kemudian petugas memberi saya tiket Madame Tussauds dan London Eye sekaligus.

Dari lobi, saya dan beberapa orang lainnya naik lift. Begitu keluar, ada suara jepretan kamera dan blitz, seolah-olah kami selebritis yang sedang melewati karpet merah.

Museum belum terlalu penuh. Orang-orang nampak berpose dengan patung-patung lilin penjelmaan idola mereka. Saya pergi ke tempat yang paling sepi pengunjung – tempat artis Bollywood macam Shah Rukh Khan hingga Aishwarya Rai.

Patung di Madame Tussauds dibuat dengan detail yang luar biasa. Kerutan hingga titik-titik noda di wajah terlihat sempurna. Kumis tipis dan cambang halus juga nampak alami. Bagian yang paling tricky mungkin pembuatan mata. Meskipun saya yakin mereka punya standar detail yang sama, namun beberapa patung terlihat hidup, sementara yang lain nampak kosong.

Anyway, dari Bollywood saya bergeser ke kiri. Hermione – uh.. maksud saya Emma Watson – sudah menunggu. Saya sempat mencari-cari Daniel Radcliff dan Rupert Grint, yang ternyata tidak ada. Sebagai gantinya, ada dua hottie Robert Pattinson dan Taylor Lautner.


Agak susah kalau datang sendirian di museum ini, terutama kalau kita juga ingin difoto. Semua orang sibuk foto-foto berbagai macam pose. Semakin tersohor artis, semakin panjang pula antriannya. Beberapa patung seleb macam One Direction bahkan perlu tali untuk mengatur antrian.


Dari tempat saya semula, saya pindah ke ruangan lain berisi tokoh-tokoh ikonik seperti Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.), Charlie Chaplin, Sister Mary Clarence (Whoopi Goldberg) dan Audrey Hepburn dengan style ala Breakfast at Tiffany’s-nya. Setelah itu, saya masuk ke bagian Sports dan mengambil foto Rafael Nadal (untuk Kimi) dan Jose Mourinho (untuk Ema dan Nanda).

Dari sana, saya menuju ruangan Royal Family. Pangeran Harry berdampingan dengan Pangeran Charles dan Camilla Parker. Sementara di panggung utama, ada Ratu Elizabeth dengan Pangeran Philip – bersebelahan dengan Pangeran William dan Katen Middleton. Yang menarik perhatian saya, Putri Diana berdiri terpisah; sendirian.


Setelah Royal Family, saya melewati ruangan khusus ilmuwan macam Einstein dan menuju tempat para pesohor di bidang musik – dari Elvis Presley sampai Adele. Sementara yang lain berdiri, The Beatles tampil beda dengan duduk di sofa coklat panjang sambil membawa gitar dan stik drum. Well, Justin Bieber juga ada tapi versi dia masih berponi pinggir. Dibanding yang lainnya, Bieber termasuk yang sepi pengunjung. Beberapa gadis kecil hanya memandang kemudian melewatinya. Kasus DUI-nya baru-baru ini mungkin membawa pengaruh juga ke penggemarnya.


Berikutnya, saya masuk ke ruangan para pemimpin dunia. Perdana Menteri Inggris David Cameron disandingkan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Saya sempat berharap patung Soekarno juga ada di Madame Tussauds London seperti yang ada di Bangkok. Asia diwakili oleh mantan Perdana Menteri India Indira Gandhi. Untuk tokoh perdamaian dunia (dilambangkan dengan merpati putih sebagai background), ada Martin Luther King, Jr., Nelson Mandela, Dalai Lama, dan Mustafa Kemal Ataturk.

Saya skip Chamber of Horrors dan langsung menuju ruangan pembuatan patung. Di situ, saya lihat patung Madame Tussauds. Agak spooky dan misterius, mungkin karena baju serba hitam yang dia pakai.


Itu adalah ruangan terakhir yang saya datangi, karena selanjutnya adalah atraksi.

Spirit of London jadi atraksi pertama. Ini semacam Istana Boneka-nya Dufan. Maksimal dua orang dalam satu kereta. Karena datang sendiri, saya naik keretanya sendirian. Sayang dilarang memotret di sini.

Di awal-awal, di kisahkan London yang suram. Wabah penyakit merajalela, orang-orang kelaparan. Tikus-tikus berkeliaran. Kemudian muncul Revolusi Industri. Asap-asap muncul dari cerobong pabrik. Selanjutnya.. saya lupa -____-“ Intinya London kemudian berkembang dan bertambah maju.

Atraksi selanjutnya adalah Marvel Super Heroes. Ini adalah tayangan film 4D. Ceritanya berkisah tentang pahlawan super yang berjuang menyelamatkan bumi. Ada Iron Man, Spiderman, Hulk, Wolverin, dan Captain America melawan Dr. Doom. Efek 4D-nya juara! Kita bisa merasakan tusukan kuku tajam Wolverin, sinar laser Iron Man dan bersin (ewww..) Hulk. Mungkin karena ini pengalaman pertama saya nonton film 4D, saya jadi belum punya pembanding.


Marvel Super Heroes adalah atraksi penutup di Madame Tussauds. Dari museum, saya naik Tube ke Stasiun Westminster.

Keluar dari stasiun, Big Ben tampak di depan mata. Saya mengambil arah kanan, berbelok melewati Westminster Abbey. Melihat ada taman, saya duduk di sana membuka bekal makan siang; memandangi Big Ben-House of Parliament yang persis ada di hadapan. Makan siang belum pernah semewah ini.

Selesai makan, saya berjalan menyusuri petunjuk peta. Tujuan saya adalah London Eye. Saya melewati Westminster Bridge – sempat berfoto dengan latar belakang Big Ben – kemudian langsung menukarkan voucher London Eye menjadi tiket.

Antrian London Eye sangat panjang, tetapi rotasinya lumayan cepat juga. Tidak ada setengah jam, saya sudah berada di atas bersama belasan orang lainnya.


April tahun lalu, saya naik Singapore Flyer dengan teman saya Mitha. Saya bilang padanya saya ingin mencoba Singapore Flyer sebelum London Eye. Saat itu, tak pernah terpikir bahwa tak ada setahun setelahnya, saya kembali mengulang percakapan tersebut dalam hati sambil memandangi St. Paul Cathedral dari ketinggian 135 meter.

London Eye juga punya atraksi 4D. Tak mau rugi, saya menonton atraksi itu. Favorit saya adalah ketika ada adegan seorang wanita yang menari dengan taburan mawar. Wangi bunga langsung semerbak di ruangan.

Dari London Eye, saya menyusuri South Bank.

Tak lama, saya sudah duduk di bangku taman – popcorn dalam genggaman – melepas lelah setelah berjalan menyusuri South Bank sesorean itu. Sungai Thames ada di hadapan, airnya tenang – lebih lebar dari yang saya bayangkan. Di sudut kiri, London Eye masih tertangkap mata. Orang-orang lalu-lalang, beberapa berhenti demi melihat atraksi musisi ataupun penampil jalanan. Sore yang sibuk. Meskipun musim dingin belum sepenuhnya usai, matahari yang hangat sore itu seperti membawa musim semi datang lebih awal. Untuk kesekian ratus kalinya hari itu, saya katakan pada diri sendiri, “You made it, Kid!”

Saya terus berjalan melewati jembatan-jembatan London: Hungerford Bridge, Waterloo Bridge, Blackfriars Bridge, Millenium Bridge, London Bridge hingga tujuan saya Tower Bridge. Oya, masih banyak orang yang keliru menyebut Tower Bridge menjadi London Bridge. Gampangnya, jembatan (yang bisa membelah jadi dua) di filmnya Spice Girls itu Tower Bridge. Pantas banyak yang suka South Bank. Tempatnya enak buat jalan-jalan. Banyak kursi panjang untuk duduk-duduk santai memandangi Sungai Thames. Ada lapak-lapak penjual buku-buku bekas di sana. Juga tempat anak-anak mudanya berlatih skateboard.


Tower Bridge jadi destinasi terakhir saya hari itu. Sudah petang ketika saya memutuskan pulang.

No comments:

Post a Comment