Senin pagi. Saya bangun dengan perasaan ringan. Kekhawatiran saya tentang rumitnya jalan-jalan di London sendirian berganti rasa percaya diri setelah jalan-jalan kemarin.
Oya, Icha sakit sejak pulang dari Abbey Road. Mungkin terlalu
lelah karena Icha bilang beberapa hari sebelumnya dia jalan-jalan ke sepuluh
tempat sekaligus dalam waktu sehari. SEPULUH TEMPAT! Ditambah katanya waktu itu
sempat hujan. Jadilah capek itu terakumulasi.
Pagi itu saya dapat kenalan baru lagi di Wisma Indonesia. Seorang
perempuan berusia 30-an. Dia semacam wakil dari universitas di Inggris untuk
Indonesia. Malam sebelumnya saya kenalan dengan seorang bapak yang ternyata
anggota DPD – sedang dinas dia bilang, juga dengan sekeluarga – bapak, ibu, dan
dua orang anak – yang ke Inggris buat jalan-jalan. Icha sendiri akan mengikuti
Model UN 2014, namun dia datang semingguan lebih awal untuk menjelajah London.
Sarapan di Wisma Indonesia selalu enak. Pokoknya tidak rugi
menginap di sana. Saya rekomendasikan buat yang ingin ke London. Serius. Hari
itu sarapannya nasi dan ayam. Karena porsinya yang besar, saya hanya makan
setengah. Setengah yang lain saya bawa buat bekal makan siang. Lumayan mengirit
uang jajan. Ide ini saya dapat dari Icha.
Seperti sudah terbiasa, saya berjalan ke Stasiun Colindale. Dari
sana, saya naik tube dan turun di Warren Street. Keluar stasiun, saya cari
pemberhentian Bus 18. Tidak ada lima menit, saya sudah naik double-decker. Tipikal orang yang baru
pertama kali naik bis tingkat, saya duduk di kursi atas. Hanya ada saya dan
satu lelaki di bagian atas ini. Perjalanan diisi dengan hening.
Layar kecil menunjukkan halte bis tujuan saya sudah dekat:
Baker Street. Saya turun melalui tangga kecil. Di bawah, beberapa penumpang
berdiri, mengantisipasi bis berhenti. Beda dengan OV-Chipkaart yang mana kita
harus menge-tap saat naik dan juga
turun dari bis, Oyster hanya di-tap ketika
naik bis.
Turun dari bis, tempat tujuan saya langsung nampak di
hadapan. Saat itu rasanya.. rasanya
saya ingin meluncur ke beberapa belas tahun yang lalu, untuk menemui diri saya
di usia 13-an. Saya ingin menepuk bahunya dan bilang, “You will make it, Kid!”
Tempat yang jadi destinasi pertama saya hari itu adalah
museum lilin Madame Tussauds. Saya pertama kali membaca tentang Madame Tussauds
London di majalah Kartini, di usia belasan. Saya masih ingat ada dua foto aktor
dengan pose sama, pembaca diminta menebak mana yang patung lilin, mana yang
aktor betulan. Tebakan saya meleset, dan saya takjub! Bagaimana mungkin mata saya
bisa tertipu? Sejak saat itu, saya ingin ke Madame Tussauds London.
Well, Madame
Tussauds bukan hanya ada di London. Kalau saya mau, saya bisa pergi ke Madame
Tussauds Bangkok atau bahkan Amsterdam – yang paling dekat dengan saya saat ini.
Tapi Madame Tussauds London punya makna lebih. Orang-orang yang sentimentil
macam saya pasti tahu bedanya. Ini bukan hanya tentang Madame Tussauds. Ini
tentang Madame Tussauds London.
Saya sudah membeli tiketnya sejak masih di Belanda. Saya beli
yang satu paket dengan London Eye supaya hemat. Baru beberapa orang yang sudah
mengantri di samping pintu masuk. Saya menunjukkan print tiket online saya, kemudian petugas memberi saya tiket Madame
Tussauds dan London Eye sekaligus.
Dari lobi, saya dan beberapa orang lainnya naik lift. Begitu
keluar, ada suara jepretan kamera dan blitz, seolah-olah kami selebritis yang
sedang melewati karpet merah.
Museum belum terlalu penuh. Orang-orang nampak berpose dengan
patung-patung lilin penjelmaan idola mereka. Saya pergi ke tempat yang paling
sepi pengunjung – tempat artis Bollywood macam Shah Rukh Khan hingga Aishwarya
Rai.
Patung di Madame Tussauds dibuat dengan detail yang luar
biasa. Kerutan hingga titik-titik noda di wajah terlihat sempurna. Kumis tipis
dan cambang halus juga nampak alami. Bagian yang paling tricky mungkin pembuatan mata. Meskipun saya yakin mereka punya
standar detail yang sama, namun beberapa patung terlihat hidup, sementara yang
lain nampak kosong.
Anyway, dari
Bollywood saya bergeser ke kiri. Hermione – uh.. maksud saya Emma Watson –
sudah menunggu. Saya sempat mencari-cari Daniel Radcliff dan Rupert Grint, yang
ternyata tidak ada. Sebagai gantinya, ada dua hottie Robert Pattinson dan Taylor Lautner.
Agak susah kalau datang sendirian di museum ini, terutama
kalau kita juga ingin difoto. Semua orang sibuk foto-foto berbagai macam pose.
Semakin tersohor artis, semakin panjang pula antriannya. Beberapa patung seleb
macam One Direction bahkan perlu tali untuk mengatur antrian.
Dari tempat saya semula, saya pindah ke ruangan lain berisi
tokoh-tokoh ikonik seperti Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.), Charlie
Chaplin, Sister Mary Clarence (Whoopi Goldberg) dan Audrey Hepburn dengan style
ala Breakfast at Tiffany’s-nya.
Setelah itu, saya masuk ke bagian Sports dan
mengambil foto Rafael Nadal (untuk Kimi) dan Jose Mourinho (untuk Ema dan
Nanda).
Dari sana, saya menuju ruangan Royal Family. Pangeran Harry berdampingan dengan Pangeran Charles
dan Camilla Parker. Sementara di panggung utama, ada Ratu Elizabeth dengan
Pangeran Philip – bersebelahan dengan Pangeran William dan Katen Middleton.
Yang menarik perhatian saya, Putri Diana berdiri terpisah; sendirian.
Setelah Royal Family, saya
melewati ruangan khusus ilmuwan macam Einstein dan menuju tempat para pesohor
di bidang musik – dari Elvis Presley sampai Adele. Sementara yang lain berdiri,
The Beatles tampil beda dengan duduk di sofa coklat panjang sambil membawa
gitar dan stik drum. Well, Justin
Bieber juga ada tapi versi dia masih berponi pinggir. Dibanding yang lainnya,
Bieber termasuk yang sepi pengunjung. Beberapa gadis kecil hanya memandang
kemudian melewatinya. Kasus DUI-nya baru-baru ini mungkin membawa pengaruh juga
ke penggemarnya.
Berikutnya, saya masuk ke ruangan para pemimpin dunia. Perdana
Menteri Inggris David Cameron disandingkan dengan Presiden Rusia Vladimir
Putin. Saya sempat berharap patung Soekarno juga ada di Madame Tussauds London
seperti yang ada di Bangkok. Asia diwakili oleh mantan Perdana Menteri India
Indira Gandhi. Untuk tokoh perdamaian dunia (dilambangkan dengan merpati putih
sebagai background), ada Martin
Luther King, Jr., Nelson Mandela, Dalai Lama, dan Mustafa Kemal Ataturk.
Saya skip Chamber
of Horrors dan langsung menuju ruangan pembuatan patung. Di situ, saya lihat
patung Madame Tussauds. Agak spooky dan
misterius, mungkin karena baju serba
hitam yang dia pakai.
Itu adalah ruangan terakhir yang saya datangi, karena
selanjutnya adalah atraksi.
Spirit of London jadi atraksi pertama. Ini semacam Istana
Boneka-nya Dufan. Maksimal dua orang dalam satu kereta. Karena datang sendiri,
saya naik keretanya sendirian. Sayang dilarang memotret di sini.
Di awal-awal, di kisahkan London yang suram. Wabah penyakit
merajalela, orang-orang kelaparan. Tikus-tikus berkeliaran. Kemudian muncul
Revolusi Industri. Asap-asap muncul dari cerobong pabrik. Selanjutnya.. saya lupa -____-“ Intinya London kemudian
berkembang dan bertambah maju.
Atraksi selanjutnya adalah Marvel Super Heroes. Ini adalah
tayangan film 4D. Ceritanya berkisah tentang pahlawan super yang berjuang
menyelamatkan bumi. Ada Iron Man, Spiderman, Hulk, Wolverin, dan Captain
America melawan Dr. Doom. Efek 4D-nya juara! Kita bisa merasakan tusukan kuku
tajam Wolverin, sinar laser Iron Man dan bersin (ewww..) Hulk. Mungkin karena ini pengalaman pertama saya nonton
film 4D, saya jadi belum punya pembanding.
Marvel Super Heroes adalah atraksi penutup di Madame
Tussauds. Dari museum, saya naik Tube ke Stasiun Westminster.
Keluar dari stasiun, Big Ben tampak di depan mata. Saya
mengambil arah kanan, berbelok melewati Westminster Abbey. Melihat ada taman,
saya duduk di sana membuka bekal makan siang; memandangi Big Ben-House of
Parliament yang persis ada di hadapan. Makan siang belum pernah semewah ini.
Selesai makan, saya berjalan menyusuri petunjuk peta. Tujuan
saya adalah London Eye. Saya melewati Westminster Bridge – sempat berfoto
dengan latar belakang Big Ben – kemudian langsung menukarkan voucher London Eye menjadi tiket.
Antrian London Eye sangat panjang, tetapi rotasinya lumayan
cepat juga. Tidak ada setengah jam, saya sudah berada di atas bersama belasan
orang lainnya.
April tahun lalu, saya naik Singapore Flyer dengan teman saya
Mitha. Saya bilang padanya saya ingin mencoba Singapore Flyer sebelum London
Eye. Saat itu, tak pernah terpikir bahwa tak ada setahun setelahnya, saya
kembali mengulang percakapan tersebut dalam hati sambil memandangi St. Paul
Cathedral dari ketinggian 135 meter.
London Eye juga punya atraksi 4D. Tak mau rugi, saya menonton
atraksi itu. Favorit saya adalah ketika ada adegan seorang wanita yang menari
dengan taburan mawar. Wangi bunga langsung semerbak di ruangan.
Dari London Eye, saya menyusuri South Bank.
Tak lama, saya sudah duduk
di bangku taman – popcorn dalam genggaman
– melepas lelah setelah berjalan menyusuri South Bank sesorean itu.
Sungai Thames ada di hadapan, airnya tenang – lebih lebar dari yang saya
bayangkan. Di sudut kiri, London Eye masih tertangkap mata. Orang-orang
lalu-lalang, beberapa berhenti demi melihat atraksi musisi ataupun penampil
jalanan. Sore yang sibuk. Meskipun musim dingin belum sepenuhnya usai, matahari
yang hangat sore itu seperti membawa musim semi datang lebih awal. Untuk
kesekian ratus kalinya hari itu, saya katakan pada diri sendiri, “You made it, Kid!”
Saya terus berjalan melewati jembatan-jembatan London: Hungerford
Bridge, Waterloo Bridge, Blackfriars Bridge, Millenium Bridge, London Bridge
hingga tujuan saya Tower Bridge. Oya, masih banyak orang yang keliru menyebut Tower
Bridge menjadi London Bridge. Gampangnya, jembatan (yang bisa membelah jadi
dua) di filmnya Spice Girls itu Tower Bridge. Pantas banyak yang suka South
Bank. Tempatnya enak buat jalan-jalan. Banyak kursi panjang untuk duduk-duduk
santai memandangi Sungai Thames. Ada lapak-lapak penjual buku-buku bekas di
sana. Juga tempat anak-anak mudanya berlatih skateboard.
Tower Bridge jadi destinasi terakhir saya hari itu. Sudah
petang ketika saya memutuskan pulang.
No comments:
Post a Comment