Saturday, 11 January 2014
Sunday, 5 January 2014
Bonjour, Paris! (II)
Hari ketiga, jam 9 kami
sudah meluncur ke Palace of Versailles. Tempatnya ada di bagian selatan Paris,
sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan suburban yang cantik. Sampai di sana, antrian sudah mengular hingga
tiga lajur. Padahal Versailles dibuka jam 10. Ketika kami masuk, antrian di
luar semakin menggila. Di dalam pun sama, masih harus mengantri untuk masuk ke
istananya
Saya yang paling malas
berdesak-desakan langsung ingin keluar. Semua ruangan sesak dengan manusia. Akhirnya
saya melakukan yang tipikal turis lakukan: datang, foto-foto, keluar. Rekaman audio
yang saya dapat cuma terpakai di 10 menit pertama.
Masuk ke Versailles, saya
membayangkan kaya-rayanya kaisar jaman dulu. Kaya raya yang kaya raya banget. Semua ruangan didesain mewah
dengan lukisan-lukisan dan patung-patung. Saya yakin pasti ada ruangan yang tak
pernah dimasuki oleh sang kaisar saking luasnya.
Dari Versailles, kami ke
Menara Eiffel. Lagi-lagi antriannya gila. Iyalah, namanya juga liburan akhir
tahun. Kami mestinya naik ke lantai dua Eiffel, tapi saya memutuskan untuk tidak
ikut rombongan. Jalan kaki ke Sacre Coeur saja membuat
nafas saya hampir habis, bagaimana naik Eiffel? Sementara teman-teman naik
Eiffel, saya santai memutarinya. Malahan sempat belanja dan makan siang enak di
restoran cina.
Sambil menunggu teman-teman turun, saya duduk di taman
sendirian. Matahari sore itu terasa hangat. Orang-orang lalu-lalang. Di belakang
saya ada Menara Eiffel. Saya dengarkan lagu dari iPod dan menikmati
sungguh-sungguh momen saat itu. Saat itu, saya merasa jadi orang paling bahagia
di dunia.
Jam 5, bis meninggalkan Eiffel menuju Arc de Triomphe. Kami cuma sebentar di sana.
Foto-foto kemudian kembali lagi ke bis. Dari sana, kami ke Christmas Market –
atau sekarang lebih cocok disebut New Year Market.
Besoknya, tanggal 30
Desember, pagi-pagi setelah sarapan di hotel kami sudah bersiap untuk pulang.
Kami kembali transit di Belgia untuk makan siang. Setelah itu, perjalanan diisi
nyanyi-nyanyi dari masing-masing negara. Saya nyanyi lagu Kita Bisa dari Yovie
and Friends, Bablu dari India malah menyanyikan lagu kebangsaannya (yang bikin
saya pengin berdiri dan memberi hormat). Yang paling heboh Ghana karena mereka
memainkan djimbe juga. Sorenya, kami sampai di Wageningen tercinta.
Ketika menyiapkan makan
malam, tiba-tiba saya kepikiran satu hal. Well,
hari itu saya sarapan di Prancis, makan siang di Belgia, dan makan malam di
Belanda. Hari yang menyenangkan. Apalagi setelah saya ingat kalau masih ada
seminggu ke depan untuk liburan.
Bonjour, Paris! (I)
Saya sudah
bersemangat untuk excursion ke Paris
sejak kampus mengumumkannya Oktober yang lalu. Iya, VHL memang punya agenda
tahunan jalan-jalan ke Paris untuk libur akhir tahun dan ke Barcelona untul
libur akhir April. Sebagai penerima beasiswa NFP, saya tak perlu mengeluarkan
uang karena kampus sudah mengalokasikannnya untuk kegiatan ini. Ini bukan
kegiatan wajib. Kalau saya berniat tidak ikut pun boleh saja. Malahan nanti
saya akan dikasih uang sebagai gantinya.
Awalnya
saya sempat ingin jalan-jalan sendiri dengan teman kantor yang juga kuliah di
Belanda. Tapi karena jadwal libur yang tidak cocok – dia libur seminggu lebih
awal – akhirnya saya memutuskan untuk ikut acara jalan-jalan kampus.
Excursion ini berlangsung 4 hari, dari 27 – 30 Desember 2013. Ada sekitar
50 orang yang ikut, termasuk 3 staf dari VHL. Seminggu sebelumnya, kami sudah
diberi buku berisi jadwal, informasi tempat yang akan dikunjungi, dan pembagian
kamar. Rupanya pembagian kamar didasarkan pada letak geografis negara. Yang asal
negaranya sama atau tetanggaan, dijadikan satu kamar. Sebagai satu-satunya
cewek dari Asia – yang lain dari Afrika – saya diberi kamar sendiri. Mungkin
kalau Karen ikut, dia akan sekamar dengan saya.
Yang saya
bayangkan pertama kali tentang Paris adalah Menara Eiffel. Teman saya Mitha
yang cinta sama Paris malahan lebih tahu tempat-tempat ngetop di sana, termasuk
Musee du Louvre dan Arc de Triomphe. Kebetulan dua tempat itu ada dalam jadwal.
Saya yang mau ke Paris, Mitha yang heboh.
Karena semua
sudah diatur oleh kampus, saya tak banyak googling.
Tapi melihat ada waktu bebas 4 jam di hari kedua, saya mulai berpikir mau
kemana. Tiba-tiba saya ingat film Hugo. Ada satu adegan di perpustakaan, yang
ternyata settingan lokasinya di Paris. Itu adalah Bibliothèque Sainte-Geneviève.
Saya juga ingin ke Musee d’Orsay karena di sana ada jam besar mirip jam di
Hugo. Dan oh, saya juga merencanakan pergi ke Sorbonne University. Bagi yang
sudah baca tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata pasti tahu mengapa. Kebetulan ketiga tempat tadi
berdekatan letaknya.
Begitulah.
Jumat tanggal 27 Desember saya sudah bangun pagi-pagi. Di luar masih gelap
ketika saya sampai kampus jam 8. Sekitar jam 9 bis meninggalkan kampus. Perjalanan
ke Paris ditempuh sekitar 6 jam, termasuk total waktu satu jam untuk istirahat
di Antwerp, Belgia dan Lille, Prancis.
Kami
sampai di daerah Avenue de Clichy –
tempat Hotel Mirific dimana kami menginap – sore hari. Malamnya kami bersama-sama jalan kaki setengah jam ke Sacre
Coeur – gereja Katolik Roma yang terletak di Montmartre, titik tertinggi di
Paris. Malam-malam, gerimis, dan jalan mendaki setelah 6 jam perjalanan naik
bis, well.. itu bukan ekspektasi
saya.
Saya sempat masuk ke Sacre Coeur. Sedang ada kebaktian
di situ. Ini pertama kalinya saya masuk gereja. Kami tidak boleh berisik, tidak
boleh memotret, dan dilarang menggunakan apapun yang menutup kepala. Saya langsung
melepas beanie yang dari awal saya pakai.
Kalau hari pertama saya tak punya kesan apa-apa tentang
Paris, hari kedua langsung bikin saya terkagum-kagum sama City of Love itu. Paris itu.. mewah. Itu impresi pertama saya. Bangunannya
kuno dengan warna hampir sama, goodluck buat
yang kesasar di sana. Tapi beda dengan Amsterdam yang kelihatan sumpek,
bangunan-bangunan di Paris dibuat megah dan elegan. Saat itu – bahkan sebelum
meninggalkan Paris – saya sudah tahu ingin kembali lagi ke sana.
Musee du Louvre adalah yang pertama dikunjungi. Masih pagi
tapi antrian sudah sangat panjang. Untungnya kami tidak masuk museumnya, cuma
sempat ke bawah untuk melihat piramida terbalik. Oya, hari itu ada tour guide yang memandu dan memberi
informasi tentang tempat-tempat yang kami kunjungi.
Tour guide itu bilang kalau piramida di Musee du Louvre itu
didesain oleh seorang Cina-Amerika yang memenangkan lomba. Awalnya banyak yang
tidak setuju karena bangunan piramida yang modern di tengah sekeliling bangunan
kuno terasa jomplang. Tapi karena dia memasukkan unsur fengshui, konsepnya
diterima. Piramida yang di atas adalah lambang The Sun. Di bawah, ada piramida terbalik yang lebih kecil, disebut The Moon. The Sun and The Moon. Yin and Yang. Saya foto di Musee du Louvre
dengan kaos dari Mitha. Iya, walaupun sepanjang hari saya memakai jaket karena
dingin, khusus untuk foto di situ, saya melepas jaket. See, Ta, I keep my promise. I wish you were there, too.
Dari Musee du Louvre,
kami ke Les Invalides yang terkenal sebagai tempat pemakamannya Napoleon
Bonaparte.
Dari sana, mestinya kami kembali ke hotel jam 1 dan punya waktu bebas sampai jam 5. Tapi ternyata ada perubahan rencana. Boat tour di Seine River yang harusnya malam diganti jadi sore. Waktu bebas diganti jadi malam hari. Yah, gagal rencana ke Musee d’Orsay, Bibliothèque Sainte-Geneviève, dan Sorbonne University.
Dari sana, mestinya kami kembali ke hotel jam 1 dan punya waktu bebas sampai jam 5. Tapi ternyata ada perubahan rencana. Boat tour di Seine River yang harusnya malam diganti jadi sore. Waktu bebas diganti jadi malam hari. Yah, gagal rencana ke Musee d’Orsay, Bibliothèque Sainte-Geneviève, dan Sorbonne University.
Saya duduk di kapal bagian
atas; biar deh walaupun anginnya lebih kencang. Ada penjelasan dari speaker tentang tempat-tempat yang kami
lewati. Kami lewat Musee d’Orsay juga. Dan oh, kami juga melewati Menara
Eiffel. Beberapa orang langsung foto-foto dengan Eiffel sebagai latar.
Sebelum pulang, kami
memutari jalan-jalan utama Paris. Semakin malam, semakin cantik kota ini.
Pantas Paris terkenal dengan sebutan City
of Lights juga. Menara Eiffel yang biasa-biasa saja di siang hari berubah
jadi glamor di malam hari dengan cahayanya. Satu jam sekali Eiffel akan
berkelap-kelip yang membuat saya dan teman-teman lain tak bisa menahan untuk
mengucap ‘wooow’ dan ‘waaaaah’. Wow.. Paris.. WOW!
Pun begitu, sampai di hotel
malam hari saya memilih tidur daripada keluar. Seharian itu saya sudah capek
dan masih ada kegiatan seharian lagi esok hari.
Rotterdam dan Delft
Senin pertama liburan
– tanggal 23 Desember – saya jalan-jalan ke Rotterdam dan Delft. Saya ingin ke dua kota itu gara-gara membaca postingan Fransisca
Widi di Backpacker Dunia. Ini alamat blog dia. Saya suka cara dia bercerita,
sampai-sampai saya kepikiran untuk ke Delft hanya untuk makan apple pie di Kobus Kuch dan makan es
krim di Otelli. Karena dekat dengan Delft, Rotterdam pun jadi tujuan saya.
Kebetulan saya kangen makan KFC. Kebetulan juga ada KFC di Rotterdam. Cocok.
Sudah siang ketika saya sampai ke
Rotterdam. Ini kali pertama saya ke sana. Seperti yang Fransisca bilang,
Rotterdam itu beda dengan kota lainnya di Belanda. Banyak gedung tinggi yang
membuatnya terlihat modern.
Siang itu cuaca mendung, angin
kencang. Kalau sudah seperti itu inginnya selimutan di kamar saja. Saya
melewati Lijnbaan tempat orang belanja-belanja. Tujuan saya cuma KFC.
Muter-muter, saya nyasar ke China Town. Malah kebetulan karena ada Toko Wah Nam
Hong di situ. Saya beli kacang ijo, gula jawa, Kusuka dan jajan lainnya. Lebih
kebetulan lagi karena KFC ternyata satu deret dengan toko itu.
Saya pesan paket dua ayam dengan french fries. Satu potong ayam saya bawa
pulang untuk makan malam. Rasa KFC-nya agak beda dengan yang di Jakarta. Gurih
sih, tapi ada yang beda, entah apanya. Oya, mungkin karena saos sambalnya tidak
pedas. Nama sambalnya sih 2Hot4U, tapi sebenarnya tidak pedas sama sekali.
Kalah sama level 1-nya Maicih – kalau ada.
Dari KFC, saya kembali ke stasiun
Rotterdam Centraal. Saya sudah niat pulang karena udara dingin. Tapi tanggung,
cuma 10 menit naik ke Delft. Lagipula tujuan utama saya kan memang makan apple pie dan es krim.
Stasiun Delft ternyata kecil, tidak
seperti bayangan saya semula. Saya ikuti petunjuk arah menuju Centrum. Angin
semakin kencang, saya sempat ketar-ketir juga kalau tiba-tiba ada badai.
Setelah berjalan kaki lumayan jauh,
saya sampai di Centrum. Suasana yang glommy
ditambah Delft Centrum yang kuno – kontras dengan Rotterdam – membuat saya
seperti berada di masa lalu.
Fransisca tidak memberikan detail
lokasi Kobus Kuch, dia cuma bilang ada di Delft. Saya feeling saja kalau itu adanya di Centrum – feeling yang tepat karena saya akhirnya sampai ke Kobus Kuch.
Senangnyaaa…
Tulisan Kobus Kuch yang kecil
untungnya tertangkap mata. Menjelang sore, Kobus Kuch ramai pembeli. Akhirnya
saya membeli apple pie untuk dibawa
pulang.
Udara semakin dingin. Niatan untuk
makan es krim langsung hilang. Yang ada saya malah ingin minum jahe anget.
Walaupun tak niat mencari, ternyata saya melewati Otelli. Mungkin lain kali
saya makan es krim di situ.
Sebelum kembali ke stasiun, saya beli
pernak-pernik keramik Delft. Yang palsu sih, kalau yang asli dengan kualitas
nomor satu harganya mahal. Biar deh yang penting ada oleh-oleh untuk dibawa
pulang.
Sambil menunggu kereta, saya makan apple pie-nya. Benar kata
Fransisca, itu enak banget. Krimnya lembut dan sempurna untuk apple pie yang crunchy. Nyamm..
Kembali ke Wageningen, saya merasa
nyaman. Meskipun cuaca mendung dan angin kencang, saya tahu ada kamar hangat
yang sudah menunggu. Saat itu saya tahu, saya sudah menganggap kota ini sebagai
rumah.
Jalan-jalan ke Jerman: Dusseldorf dan Cologne
Jerman itu bukan negara yang ada dalam wish list saya di Eropa. Entah kenapa
ya, tidak tertarik. Tapi justru itu negara pertama yang saya kunjungi di luar
Belanda. Alasan utamanya karena saya harus apply
visa UK di Dusseldorf, kota di barat laut Jerman.
Kalau bukan
karena saya cinta banget sama
Inggris, pasti saya males apply visa
ke sana. Syaratnya banyak dan ribet. Ada blog bagus yang mengulas visa UK disini. Cuma ada satu update, yakni
mengenai biaya visa. Dulu memang biayanya 90 EUR, sekarang naik jadi 98 EUR.
Setelah submit aplikasi online, saya membuat
jadwal untuk menyerahkan dokumen yang asli. Saya pilih Jumat tanggal 6 Desember
pukul 15.30. Dari Wageningen ke Dusseldorf total waktunya sekitar 3 jam. Hari
itu saya ada kuliah. Untuk amannya, saya ijin pulang cepat pukul 10.30. Kami
naik kereta pukul 11.32.
Saya ke
Dusseldorf dengan 3 teman yang lain: Judie, Patience, dan Victoria. Yang apply visa hanya saya dan Pat. Dua yang
lain cuma niat jalan-jalan.
Kami naik kereta
NS Hispeed dengan biaya 54 EUR pulang-pergi. Kami transit di Nijmegen dan
Venlo. Yang parah itu ketika transit 4 menit di Venlo. Waktunya sangat mepet.
Kereta menuju Dusseldorf hampir berangkat ketika kereta yang kami tumpangi
sebelumnya baru sampai stasiun. Kami mesti lari-lari supaya tidak ketinggalan
kereta.
Pukul 14.08 kami
sampai di Dusseldorf Hbf. Tidak begitu kentara beda antara Jerman dan Belanda,
kecuali soal bahasa. Dari stasiun, kami berjalan kaki mencari kantor
WorldBridge di Charlottenstrasse
61. Yang membuat
bingung, ada nomor 60 dan 62, tapi tidak ada 61. Kami berputar beberapa kali
dan bertanya ke orang-orang, tidak ada yang tahu. Kami sempat bertanya ke
bapak-bapak dan langsung dimarahi. Iya, dimarahi. Dia marah-marah dengan Bahasa
Jerman sih. Dia menunjuk-nunjuk nomor rumah, intinya dia memberi tahu kalau itu
hal yang mudah. Saya langsung ilfeel sama
Jerman. Membantu tidak, marah-marah iya.
Saya jadi membandingkan dengan
Belanda. Di sini, orang akan menjawab dengan baik kalau kita menanyakan
sesuatu. Malah pernah saya sedang kebingungan melihat peta, langsung didatangin
oleh kakek-nenek. Si kakek sepertinya tahu saya sedang bingung. Bukan hanya
mengarahkan, dia juga sampai mau mengantarkan ke tempat tujuan. Dan satu hal
lagi, orang di Belanda rata-rata bisa berbahasa Inggris, tidak seperti di
Jerman.
Kami menemukan kantor aplikasi visa
sekitar jam 3, setelah bolak-balik beberapa kali. Hanya saya dan Pat yang boleh
masuk., yang lain menunggu di luar. Prosesnya cepat, tak sampai 10 menit. Saya
hanya menyerahkan dokumen, membayar biaya pengiriman, difoto dan diambil sidik
jari di Ruang Biometric.
Dari WorldBridge, kami naik tram ke Hotel
B&B Dusseldorf. Kami turun di halte sesuai petunjuk Google Maps. Ternyata
jaraknya masih jauh ke hotel. Udara semakin dingin karena siangnya turun salju.
Kami pergi ke bar dan minta tolong untuk dipanggilkan taksi. Untung ada orang
baik yang mau menolong. Tak lama, taksi datang dan kami pun sampai hotel.
Hotel B&B bersih dan nyaman. Kami
memilih family room seharga 148 EUR
untuk dua malam. Mestinya kamar itu hanya untuk 3 orang, tapi kami melobi dan
akhirnya satu kamar bisa ditempati 4 orang tanpa biaya tambahan. Ada tiga kasur
di situ. Dua kasur single dan satu double. Sangat bisa untuk tidur
berempat.
Esoknya, kami pergi ke Cologne atau
Koln. Kami naik tram ke Dusseldorf Hbf, dari sana naik kereta ke Cologne. Oya,
kami naik tram gratisan. Harusnya sih bayar, tapi banyak yang cuma masuk. Hanya
sedikit yang benar-benar membayar, beda dengan tram di Belanda dimana
orang-orangnya menge-tap OV Chipkaart
sebagai ganti tiket perjalanan. Saya sempat tak enak hati sih, tapi ya
sudahlah.
Kami ke Cologne dengan tujuan utama
Christmas Market. Katanya salah satu yang paling bagus ada di Cologne. Bagus sih,
tapi saya pusing karena terlalu ramai. Dari sana, kami ke Lock Bridge tempat
orang-orang memasang gembok cinta. Kami cuma foto-foto di sana.
Kembali ke Dusseldorf, kami ke
Christmas Market Dusseldorf yang lebih meriah dengan adanya bianglala. Kami sempat
naik ke atas dan menikmati Sungai Seine di malam hari.
Dari situ kami
belanja-belanja dan makan di what they
call the longest bar. Jadi ada satu jalan isinya kebanyakan bar. Judie dan
Pat ingin minum bir di situ.
Banyak orang mabok di situ. Itu
membuat kami tidak nyaman dan ingin cepat-cepat pulang. Ketika saya ingin
memotret jalan itu, ada lelaki yang berteriak-teriak melarang. Ini orang Jerman
memang suka marah-marah ya?
Hari Minggunya kami sudah bersiap kembali
pulang ke Wageningen. Jalan-jalan akhir pekan sudah berlalu. Yang membuat
senang, saya jadi merasa semakin dekat dengan teman-teman. Memang betul kalau traveling bisa mendekatkan – meskipun
bisa juga menjauhkan kalau tidak cocok.
Kabar baiknya lagi, dua minggu
setelah itu, saya dapat kiriman paket dari DHL. Aplikasi visa saya diterima. I’m going to UK, Baby!
Subscribe to:
Posts (Atom)