Sunday, 5 January 2014

Bonjour, Paris! (II)


Hari ketiga, jam 9 kami sudah meluncur ke Palace of Versailles. Tempatnya ada di bagian selatan Paris, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan suburban yang cantik. Sampai di sana, antrian sudah mengular hingga tiga lajur. Padahal Versailles dibuka jam 10. Ketika kami masuk, antrian di luar semakin menggila. Di dalam pun sama, masih harus mengantri untuk masuk ke istananya


Saya yang paling malas berdesak-desakan langsung ingin keluar. Semua ruangan sesak dengan manusia. Akhirnya saya melakukan yang tipikal turis lakukan: datang, foto-foto, keluar. Rekaman audio yang saya dapat cuma terpakai di 10 menit pertama. 


Masuk ke Versailles, saya membayangkan kaya-rayanya kaisar jaman dulu. Kaya raya yang kaya raya banget. Semua ruangan didesain mewah dengan lukisan-lukisan dan patung-patung. Saya yakin pasti ada ruangan yang tak pernah dimasuki oleh sang kaisar saking luasnya.

Dari Versailles, kami ke Menara Eiffel. Lagi-lagi antriannya gila. Iyalah, namanya juga liburan akhir tahun. Kami mestinya naik ke lantai dua Eiffel, tapi saya memutuskan untuk tidak ikut rombongan. Jalan kaki ke Sacre Coeur saja membuat nafas saya hampir habis, bagaimana naik Eiffel? Sementara teman-teman naik Eiffel, saya santai memutarinya. Malahan sempat belanja dan makan siang enak di restoran cina.



Sambil menunggu teman-teman turun, saya duduk di taman sendirian. Matahari sore itu terasa hangat. Orang-orang lalu-lalang. Di belakang saya ada Menara Eiffel. Saya dengarkan lagu dari iPod dan menikmati sungguh-sungguh momen saat itu. Saat itu, saya merasa jadi orang paling bahagia di dunia.

Jam 5, bis meninggalkan Eiffel menuju Arc de Triomphe. Kami cuma sebentar di sana. Foto-foto kemudian kembali lagi ke bis. Dari sana, kami ke Christmas Market – atau sekarang lebih cocok disebut New Year Market.



Besoknya, tanggal 30 Desember, pagi-pagi setelah sarapan di hotel kami sudah bersiap untuk pulang. Kami kembali transit di Belgia untuk makan siang. Setelah itu, perjalanan diisi nyanyi-nyanyi dari masing-masing negara. Saya nyanyi lagu Kita Bisa dari Yovie and Friends, Bablu dari India malah menyanyikan lagu kebangsaannya (yang bikin saya pengin berdiri dan memberi hormat). Yang paling heboh Ghana karena mereka memainkan djimbe juga. Sorenya, kami sampai di Wageningen tercinta.

Ketika menyiapkan makan malam, tiba-tiba saya kepikiran satu hal. Well, hari itu saya sarapan di Prancis, makan siang di Belgia, dan makan malam di Belanda. Hari yang menyenangkan. Apalagi setelah saya ingat kalau masih ada seminggu ke depan untuk liburan.


Bonjour, Paris! (I)

Saya sudah bersemangat untuk excursion ke Paris sejak kampus mengumumkannya Oktober yang lalu. Iya, VHL memang punya agenda tahunan jalan-jalan ke Paris untuk libur akhir tahun dan ke Barcelona untul libur akhir April. Sebagai penerima beasiswa NFP, saya tak perlu mengeluarkan uang karena kampus sudah mengalokasikannnya untuk kegiatan ini. Ini bukan kegiatan wajib. Kalau saya berniat tidak ikut pun boleh saja. Malahan nanti saya akan dikasih uang sebagai gantinya.

Awalnya saya sempat ingin jalan-jalan sendiri dengan teman kantor yang juga kuliah di Belanda. Tapi karena jadwal libur yang tidak cocok – dia libur seminggu lebih awal – akhirnya saya memutuskan untuk ikut acara jalan-jalan kampus.

Excursion ini berlangsung 4 hari, dari 27 – 30 Desember 2013. Ada sekitar 50 orang yang ikut, termasuk 3 staf dari VHL. Seminggu sebelumnya, kami sudah diberi buku berisi jadwal, informasi tempat yang akan dikunjungi, dan pembagian kamar. Rupanya pembagian kamar didasarkan pada letak geografis negara. Yang asal negaranya sama atau tetanggaan, dijadikan satu kamar. Sebagai satu-satunya cewek dari Asia – yang lain dari Afrika – saya diberi kamar sendiri. Mungkin kalau Karen ikut, dia akan sekamar dengan saya.

Yang saya bayangkan pertama kali tentang Paris adalah Menara Eiffel. Teman saya Mitha yang cinta sama Paris malahan lebih tahu tempat-tempat ngetop di sana, termasuk Musee du Louvre dan Arc de Triomphe. Kebetulan dua tempat itu ada dalam jadwal. Saya yang mau ke Paris, Mitha yang heboh.

Karena semua sudah diatur oleh kampus, saya tak banyak googling. Tapi melihat ada waktu bebas 4 jam di hari kedua, saya mulai berpikir mau kemana. Tiba-tiba saya ingat film Hugo. Ada satu adegan di perpustakaan, yang ternyata settingan lokasinya di Paris. Itu adalah Bibliothèque Sainte-Geneviève. Saya juga ingin ke Musee d’Orsay karena di sana ada jam besar mirip jam di Hugo. Dan oh, saya juga merencanakan pergi ke Sorbonne University. Bagi yang sudah baca tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata pasti tahu mengapa. Kebetulan ketiga tempat tadi berdekatan letaknya.

Begitulah. Jumat tanggal 27 Desember saya sudah bangun pagi-pagi. Di luar masih gelap ketika saya sampai kampus jam 8. Sekitar jam 9 bis meninggalkan kampus. Perjalanan ke Paris ditempuh sekitar 6 jam, termasuk total waktu satu jam untuk istirahat di Antwerp, Belgia dan Lille, Prancis.

Kami sampai di daerah Avenue de Clichy – tempat Hotel Mirific dimana kami menginap – sore hari. Malamnya kami bersama-sama jalan kaki setengah jam ke Sacre Coeur – gereja Katolik Roma yang terletak di Montmartre, titik tertinggi di Paris. Malam-malam, gerimis, dan jalan mendaki setelah 6 jam perjalanan naik bis, well.. itu bukan ekspektasi saya.


Saya sempat masuk ke Sacre Coeur. Sedang ada kebaktian di situ. Ini pertama kalinya saya masuk gereja. Kami tidak boleh berisik, tidak boleh memotret, dan dilarang menggunakan apapun yang menutup kepala. Saya langsung melepas beanie yang dari awal saya pakai.


Kalau hari pertama saya tak punya kesan apa-apa tentang Paris, hari kedua langsung bikin saya terkagum-kagum sama City of Love itu. Paris itu.. mewah. Itu impresi pertama saya. Bangunannya kuno dengan warna hampir sama, goodluck buat yang kesasar di sana. Tapi beda dengan Amsterdam yang kelihatan sumpek, bangunan-bangunan di Paris dibuat megah dan elegan. Saat itu – bahkan sebelum meninggalkan Paris – saya sudah tahu ingin kembali lagi ke sana.

Musee du Louvre adalah yang pertama dikunjungi. Masih pagi tapi antrian sudah sangat panjang. Untungnya kami tidak masuk museumnya, cuma sempat ke bawah untuk melihat piramida terbalik. Oya, hari itu ada tour guide yang memandu dan memberi informasi tentang tempat-tempat yang kami kunjungi.

Tour guide itu bilang kalau piramida di Musee du Louvre itu didesain oleh seorang Cina-Amerika yang memenangkan lomba. Awalnya banyak yang tidak setuju karena bangunan piramida yang modern di tengah sekeliling bangunan kuno terasa jomplang. Tapi karena dia memasukkan unsur fengshui, konsepnya diterima. Piramida yang di atas adalah lambang The Sun. Di bawah, ada piramida terbalik yang lebih kecil, disebut The Moon. The Sun and The Moon. Yin and Yang. Saya foto di Musee du Louvre dengan kaos dari Mitha. Iya, walaupun sepanjang hari saya memakai jaket karena dingin, khusus untuk foto di situ, saya melepas jaket. See, Ta, I keep my promise. I wish you were there, too.


Dari Musee du Louvre, kami ke Les Invalides yang terkenal sebagai tempat pemakamannya Napoleon Bonaparte.




Dari sana, mestinya kami kembali ke hotel jam 1 dan punya waktu bebas sampai jam 5. Tapi ternyata ada perubahan rencana. Boat tour di Seine River yang harusnya malam diganti jadi sore. Waktu bebas diganti jadi malam hari. Yah, gagal rencana ke Musee d’Orsay, Bibliothèque Sainte-Geneviève, dan Sorbonne University.

Saya duduk di kapal bagian atas; biar deh walaupun anginnya lebih kencang. Ada penjelasan dari speaker tentang tempat-tempat yang kami lewati. Kami lewat Musee d’Orsay juga. Dan oh, kami juga melewati Menara Eiffel. Beberapa orang langsung foto-foto dengan Eiffel sebagai latar.




Sebelum pulang, kami memutari jalan-jalan utama Paris. Semakin malam, semakin cantik kota ini. Pantas Paris terkenal dengan sebutan City of Lights juga. Menara Eiffel yang biasa-biasa saja di siang hari berubah jadi glamor di malam hari dengan cahayanya. Satu jam sekali Eiffel akan berkelap-kelip yang membuat saya dan teman-teman lain tak bisa menahan untuk mengucap ‘wooow’ dan ‘waaaaah’. Wow.. Paris.. WOW!

Pun begitu, sampai di hotel malam hari saya memilih tidur daripada keluar. Seharian itu saya sudah capek dan masih ada kegiatan seharian lagi esok hari.

Rotterdam dan Delft


Senin pertama liburan – tanggal 23 Desember – saya jalan-jalan ke Rotterdam dan Delft. Saya ingin ke dua kota itu gara-gara membaca postingan Fransisca Widi di Backpacker Dunia. Ini alamat blog dia. Saya suka cara dia bercerita, sampai-sampai saya kepikiran untuk ke Delft hanya untuk makan apple pie di Kobus Kuch dan makan es krim di Otelli. Karena dekat dengan Delft, Rotterdam pun jadi tujuan saya. Kebetulan saya kangen makan KFC. Kebetulan juga ada KFC di Rotterdam. Cocok.

Sudah siang ketika saya sampai ke Rotterdam. Ini kali pertama saya ke sana. Seperti yang Fransisca bilang, Rotterdam itu beda dengan kota lainnya di Belanda. Banyak gedung tinggi yang membuatnya terlihat modern.




Siang itu cuaca mendung, angin kencang. Kalau sudah seperti itu inginnya selimutan di kamar saja. Saya melewati Lijnbaan tempat orang belanja-belanja. Tujuan saya cuma KFC. Muter-muter, saya nyasar ke China Town. Malah kebetulan karena ada Toko Wah Nam Hong di situ. Saya beli kacang ijo, gula jawa, Kusuka dan jajan lainnya. Lebih kebetulan lagi karena KFC ternyata satu deret dengan toko itu.

Saya pesan paket dua ayam dengan french fries. Satu potong ayam saya bawa pulang untuk makan malam. Rasa KFC-nya agak beda dengan yang di Jakarta. Gurih sih, tapi ada yang beda, entah apanya. Oya, mungkin karena saos sambalnya tidak pedas. Nama sambalnya sih 2Hot4U, tapi sebenarnya tidak pedas sama sekali. Kalah sama level 1-nya Maicih – kalau ada.


Dari KFC, saya kembali ke stasiun Rotterdam Centraal. Saya sudah niat pulang karena udara dingin. Tapi tanggung, cuma 10 menit naik ke Delft. Lagipula tujuan utama saya kan memang makan apple pie dan es krim.

Stasiun Delft ternyata kecil, tidak seperti bayangan saya semula. Saya ikuti petunjuk arah menuju Centrum. Angin semakin kencang, saya sempat ketar-ketir juga kalau tiba-tiba ada badai.


Setelah berjalan kaki lumayan jauh, saya sampai di Centrum. Suasana yang glommy ditambah Delft Centrum yang kuno – kontras dengan Rotterdam – membuat saya seperti berada di masa lalu.


Fransisca tidak memberikan detail lokasi Kobus Kuch, dia cuma bilang ada di Delft. Saya feeling saja kalau itu adanya di Centrum – feeling yang tepat karena saya akhirnya sampai ke Kobus Kuch. Senangnyaaa…


Tulisan Kobus Kuch yang kecil untungnya tertangkap mata. Menjelang sore, Kobus Kuch ramai pembeli. Akhirnya saya membeli apple pie untuk dibawa pulang.

Udara semakin dingin. Niatan untuk makan es krim langsung hilang. Yang ada saya malah ingin minum jahe anget. Walaupun tak niat mencari, ternyata saya melewati Otelli. Mungkin lain kali saya makan es krim di situ.


Sebelum kembali ke stasiun, saya beli pernak-pernik keramik Delft. Yang palsu sih, kalau yang asli dengan kualitas nomor satu harganya mahal. Biar deh yang penting ada oleh-oleh untuk dibawa pulang.



Sambil menunggu kereta, saya makan apple pie-nya. Benar kata Fransisca,  itu enak banget. Krimnya lembut dan sempurna untuk apple pie yang crunchy. Nyamm..

Kembali ke Wageningen, saya merasa nyaman. Meskipun cuaca mendung dan angin kencang, saya tahu ada kamar hangat yang sudah menunggu. Saat itu saya tahu, saya sudah menganggap kota ini sebagai rumah.

Jalan-jalan ke Jerman: Dusseldorf dan Cologne


Jerman itu bukan negara yang ada dalam wish list saya di Eropa. Entah kenapa ya, tidak tertarik. Tapi justru itu negara pertama yang saya kunjungi di luar Belanda. Alasan utamanya karena saya harus apply visa UK di Dusseldorf, kota di barat laut Jerman.

Kalau bukan karena saya cinta banget sama Inggris, pasti saya males apply visa ke sana. Syaratnya banyak dan ribet. Ada blog bagus yang mengulas visa UK disini. Cuma ada satu update, yakni mengenai biaya visa. Dulu memang biayanya 90 EUR, sekarang naik jadi 98 EUR.

Setelah submit aplikasi online, saya membuat jadwal untuk menyerahkan dokumen yang asli. Saya pilih Jumat tanggal 6 Desember pukul 15.30. Dari Wageningen ke Dusseldorf total waktunya sekitar 3 jam. Hari itu saya ada kuliah. Untuk amannya, saya ijin pulang cepat pukul 10.30. Kami naik kereta pukul 11.32.

Saya ke Dusseldorf dengan 3 teman yang lain: Judie, Patience, dan Victoria. Yang apply visa hanya saya dan Pat. Dua yang lain cuma niat jalan-jalan.

Kami naik kereta NS Hispeed dengan biaya 54 EUR pulang-pergi. Kami transit di Nijmegen dan Venlo. Yang parah itu ketika transit 4 menit di Venlo. Waktunya sangat mepet. Kereta menuju Dusseldorf hampir berangkat ketika kereta yang kami tumpangi sebelumnya baru sampai stasiun. Kami mesti lari-lari supaya tidak ketinggalan kereta.

Pukul 14.08 kami sampai di Dusseldorf Hbf. Tidak begitu kentara beda antara Jerman dan Belanda, kecuali soal bahasa. Dari stasiun, kami berjalan kaki mencari kantor WorldBridge di Charlottenstrasse 61. Yang membuat bingung, ada nomor 60 dan 62, tapi tidak ada 61. Kami berputar beberapa kali dan bertanya ke orang-orang, tidak ada yang tahu. Kami sempat bertanya ke bapak-bapak dan langsung dimarahi. Iya, dimarahi. Dia marah-marah dengan Bahasa Jerman sih. Dia menunjuk-nunjuk nomor rumah, intinya dia memberi tahu kalau itu hal yang mudah. Saya langsung ilfeel sama Jerman. Membantu tidak, marah-marah iya. 

Saya jadi membandingkan dengan Belanda. Di sini, orang akan menjawab dengan baik kalau kita menanyakan sesuatu. Malah pernah saya sedang kebingungan melihat peta, langsung didatangin oleh kakek-nenek. Si kakek sepertinya tahu saya sedang bingung. Bukan hanya mengarahkan, dia juga sampai mau mengantarkan ke tempat tujuan. Dan satu hal lagi, orang di Belanda rata-rata bisa berbahasa Inggris, tidak seperti di Jerman.

Kami menemukan kantor aplikasi visa sekitar jam 3, setelah bolak-balik beberapa kali. Hanya saya dan Pat yang boleh masuk., yang lain menunggu di luar. Prosesnya cepat, tak sampai 10 menit. Saya hanya menyerahkan dokumen, membayar biaya pengiriman, difoto dan diambil sidik jari di Ruang Biometric.

Dari WorldBridge, kami naik tram ke Hotel B&B Dusseldorf. Kami turun di halte sesuai petunjuk Google Maps. Ternyata jaraknya masih jauh ke hotel. Udara semakin dingin karena siangnya turun salju. Kami pergi ke bar dan minta tolong untuk dipanggilkan taksi. Untung ada orang baik yang mau menolong. Tak lama, taksi datang dan kami pun sampai hotel.


Hotel B&B bersih dan nyaman. Kami memilih family room seharga 148 EUR untuk dua malam. Mestinya kamar itu hanya untuk 3 orang, tapi kami melobi dan akhirnya satu kamar bisa ditempati 4 orang tanpa biaya tambahan. Ada tiga kasur di situ. Dua kasur single dan satu double. Sangat bisa untuk tidur berempat.

Esoknya, kami pergi ke Cologne atau Koln. Kami naik tram ke Dusseldorf Hbf, dari sana naik kereta ke Cologne. Oya, kami naik tram gratisan. Harusnya sih bayar, tapi banyak yang cuma masuk. Hanya sedikit yang benar-benar membayar, beda dengan tram di Belanda dimana orang-orangnya menge-tap OV Chipkaart sebagai ganti tiket perjalanan. Saya sempat tak enak hati sih, tapi ya sudahlah. 

Kami ke Cologne dengan tujuan utama Christmas Market. Katanya salah satu yang paling bagus ada di Cologne. Bagus sih, tapi saya pusing karena terlalu ramai. Dari sana, kami ke Lock Bridge tempat orang-orang memasang gembok cinta. Kami cuma foto-foto di sana.






Kembali ke Dusseldorf, kami ke Christmas Market Dusseldorf yang lebih meriah dengan adanya bianglala. Kami sempat naik ke atas dan menikmati Sungai Seine di malam hari.



Dari situ kami belanja-belanja dan makan di what they call the longest bar. Jadi ada satu jalan isinya kebanyakan bar. Judie dan Pat ingin minum bir di situ.

Banyak orang mabok di situ. Itu membuat kami tidak nyaman dan ingin cepat-cepat pulang. Ketika saya ingin memotret jalan itu, ada lelaki yang berteriak-teriak melarang. Ini orang Jerman memang suka marah-marah ya?

Hari Minggunya kami sudah bersiap kembali pulang ke Wageningen. Jalan-jalan akhir pekan sudah berlalu. Yang membuat senang, saya jadi merasa semakin dekat dengan teman-teman. Memang betul kalau traveling bisa mendekatkan – meskipun bisa juga menjauhkan kalau tidak cocok.

Kabar baiknya lagi, dua minggu setelah itu, saya dapat kiriman paket dari DHL. Aplikasi visa saya diterima. I’m going to UK, Baby!