Lapor diri ke Kedutaan RI adalah wajib hukumnya bagi mahasiswa yang
studi di luar negeri. Selain ini memang dibutuhkan oleh Kedutaan untuk memantau jumlah mahasiswa yang ada
negara tersebut, lapor diri juga penting untuk mahasiswa yang bersangkutan;
kalau-kalau ada apa-apa (misal paspor hilang), Kedutaan bisa membantu karena
sudah punya datanya.
Sampai
lebih dari sebulan sejak saya sampai di Belanda tanggal 19 September, saya
belum juga lapor diri. Alasannya karena malas. Kedutaan RI di Belanda adanya di
Den Haag, dua jam perjalanan dari Wageningen. Perjalanan pulang-pergi akan
memakan waktu sampai empat jam sediri. Terlebih setelah googling banyak yang cerita kalau lapor diri di Kedutaan biasanya ribet dan lama.
Sebetulnya
Kedutaan RI di Belanda punya program “reach
out”, yakni mendatangi kota-kota di Belanda untuk mendata mahasiswa.
Banyaknya mahasiswa Indonesia di Wageningen membuat Kedutaan juga mengadakan
acara “reach out” di sini. Sayangnya,
itu diadakan bulan Agustus, sebelum saya sampai di Belanda.
Oya,
ada alasan lain juga kenapa saya belum juga lapor diri hingga akhir Oktober. Saya
menunggu residence permit keluar.
Malas kan kalau harus balik lagi ke Kedutaan untuk melengkapi berkas? Setelah
pergi ke Den Bosch untuk mengambil residence
permit tanggal 24 Oktober, saya mulai merencanakan pergi ke Den Haag untuk
lapor diri.
Rencananya,
saya akan lapor diri tanggal 28 Oktober. Pagi-pagi, saya sudah rapi dan membawa
semua dokumen yang diperlukan. Hari itu, untuk pertama kalinya (dan sampai saat
ini satu-satunya) saya mendapat jadwal kuliah malam hari. Jadi seharian bisa
saya pakai untuk lapor diri.
Ketika
mengecek website 9292.nl untuk tahu jadwal kereta, di bagian paling atas ada
notifikasi dengan warna merah. Ternyata hari itu diperkirakan akan ada badai
sehingga jadwal kereta dikurangi. Saya yang sudah semangat jadi ciut. Saya
lihat ke luar jendela, memang anginnya lebih kencang dari biasanya. Badai hari
itu menewaskan setidaknya 13 orang di Eropa, dari Inggris hingga Jerman. Caretaker di Bornsesteeg juga mengecek
setiap kamar, memastikan semuanya baik-baik saja.
Rabu
tanggal 30 Oktober, saya menelepon Kedutaan. Saya minta waktu untuk lapor diri
sore hari. Sebenarnya jadwal di Kedutaan untuk lapor diri hanya dari pukul
09.00 sampai 13.00. Sore hanya untuk pengambilan berkas seperti paspor atau
visa. Masalahnya, saya kuliah pagi dari Senin hingga Jumat. Saya jelasakan
situasinya ke staf yang mengangkat telepon, dan saya diijinkan untuk lapor diri
sore hari.
Pulang kuliah jam 12, saya langsung ke Ede-Wageningen Station. Dari sana
saya naik kereta ke Den Haag dan transit sebentar di Utrecht. Sampai Den Haag
Centraal, saya cari Bus 24 jurusan Kijkduin.
Setelah sempat nyasar ke
halte tram (dan berjalan lumayan jauh), saya sampai juga di halte bis. Ternyata
untuk ke halte bis, kita harus naik tangga yang ada di sisi kiri Stasiun Den
Haag Centraal. Saya turun di Halte Laan van Meerdervoort (West), dan mencari-cari gedung dengan bendera Merah-Putih.
Kedutaan-kedutaan dari negara lain sepertinya terkumpul di satu kawasan ini,
hampir sama seperti di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Setelah bertanya pada security di salah satu kedutaan (saya
lupa kedutaan negara mana), saya berjalan kaki ke arah yang dia tunjuk. Dari
jauh saya melihat bendera berwarna merah dan putih, yang ternyata bendera
Jepang -____-“ Saya berjalan semakin jauh, sempat curiga kalau security yang saya tanya salah memberi
informasi. Tapi rupanya tidak. Kali ini saya melihat Bendera Merah-Putih
betulan.
Kedutaan RI ada di sisi kiri
jika kita berjalan dari arah halte. Bendera Indonesia berdamping-dampingan
dengan Bendera ASEAN. Saya masuk ke dalam, bingung sebenarnya habis itu harus
kemana. Ada sebuah ruangan kecil yang harus kita lewati sebelum masuk ke
gedungnya. Saya tanya ke mas-mas yang jaga tentang lapor diri. Saya bilang
kalau saya sudah ada janji. Karena di luar jadwal, saya diminta naik ke lantai
dua.
Saya naik ke lantai dua,
dan.. ternyata orang-orang Kedutaan sedang berkumpul di situ. Seperti sedang
di-briefing. Awkward. Untungnya ada
mbak-mbak baik yang mendatangi saya. Saya disuruh turun lagi dan menunggu di
bagian visa. Yasudah, saya ikuti saja.
Di ruang visa, orang-orang
sudah menunggu visa atau paspor mereka. Beberapa bule, kebanyakan orang Indonesia.
Ruangan ini tidak terlalu besar, dekorasi ruangannya diberi atmosfir Indonesia
dengan pajangan kain-kain batik dan display
TV yang mengiklankan wisata Indonesia.
Orang-orang ngobrol dengan
Bahasa Indonesia, sesuatu yang tiba-tiba mengingatkan saya akan rumah. Saat itu
saya seperti tidak sedang di Belanda.
Saya mengambil tiket untuk mengantri yang
belakangan sia-sia karena yang didahulukan orang yang ingin mengambil
visa/paspor. Setelah ruangan nyaris sepi, saya bertanya ke staf kedutaan untuk
lapor diri. Semua dokumen saya diperiksa di dalam sementara saya menunggu di
tempat semula. Tidak ada lima belas menit, paspor saya sudah dicap oleh
Kedutaan. Oh well, ternyata lapor diri prosesnya cepat dan mudah.
Karena sudah sore, kantin di
Kedutaan tutup. Padahal saya sudah pengin makan masakan Indonesia. Di jalan
pulang menuju halte bis, saya menemukan restoran Seleraku. Langsung saya makan
Sup Iga dan Bakso Rambutan di situ. Sup Iganya beda dengan yang saya bayangkan,
kurang gurih. Sambalnya juga tidak pedas. Padahal saya pikir kuah gurih iga
dicampur sambal yang pedas pastilah enak untuk sore-sore yang dingin. Untungnya
bakso gorengnya enak, krispi di luarnya. Kenyang setelah makan, saya pulang.
Sebenarnya banyak tempat yang
bisa didatangi di Den Haag, yang bagus untuk foto-foto. Sayangnya, saat itu
saya tidak punya waktu banyak. Pulang ke Wageningen sudah malam. Lain kali saya
berencana ke Den Haag lagi.
No comments:
Post a Comment