Friday, 3 January 2014

Lapor Diri di Den Haag


Lapor diri ke Kedutaan RI adalah wajib hukumnya bagi mahasiswa yang studi di luar negeri. Selain ini memang dibutuhkan oleh Kedutaan  untuk memantau jumlah mahasiswa yang ada negara tersebut, lapor diri juga penting untuk mahasiswa yang bersangkutan; kalau-kalau ada apa-apa (misal paspor hilang), Kedutaan bisa membantu karena sudah punya datanya.

Sampai lebih dari sebulan sejak saya sampai di Belanda tanggal 19 September, saya belum juga lapor diri. Alasannya karena malas. Kedutaan RI di Belanda adanya di Den Haag, dua jam perjalanan dari Wageningen. Perjalanan pulang-pergi akan memakan waktu sampai empat jam sediri. Terlebih setelah googling banyak yang cerita kalau lapor diri di Kedutaan biasanya ribet dan lama.

Sebetulnya Kedutaan RI di Belanda punya program “reach out”, yakni mendatangi kota-kota di Belanda untuk mendata mahasiswa. Banyaknya mahasiswa Indonesia di Wageningen membuat Kedutaan juga mengadakan acara “reach out” di sini. Sayangnya, itu diadakan bulan Agustus, sebelum saya sampai di Belanda.

Oya, ada alasan lain juga kenapa saya belum juga lapor diri hingga akhir Oktober. Saya menunggu residence permit keluar. Malas kan kalau harus balik lagi ke Kedutaan untuk melengkapi berkas? Setelah pergi ke Den Bosch untuk mengambil residence permit tanggal 24 Oktober, saya mulai merencanakan pergi ke Den Haag untuk lapor diri.

Rencananya, saya akan lapor diri tanggal 28 Oktober. Pagi-pagi, saya sudah rapi dan membawa semua dokumen yang diperlukan. Hari itu, untuk pertama kalinya (dan sampai saat ini satu-satunya) saya mendapat jadwal kuliah malam hari. Jadi seharian bisa saya pakai untuk lapor diri.

Ketika mengecek website 9292.nl untuk tahu jadwal kereta, di bagian paling atas ada notifikasi dengan warna merah. Ternyata hari itu diperkirakan akan ada badai sehingga jadwal kereta dikurangi. Saya yang sudah semangat jadi ciut. Saya lihat ke luar jendela, memang anginnya lebih kencang dari biasanya. Badai hari itu menewaskan setidaknya 13 orang di Eropa, dari Inggris hingga Jerman. Caretaker di Bornsesteeg juga mengecek setiap kamar, memastikan semuanya baik-baik saja. 

Rabu tanggal 30 Oktober, saya menelepon Kedutaan. Saya minta waktu untuk lapor diri sore hari. Sebenarnya jadwal di Kedutaan untuk lapor diri hanya dari pukul 09.00 sampai 13.00. Sore hanya untuk pengambilan berkas seperti paspor atau visa. Masalahnya, saya kuliah pagi dari Senin hingga Jumat. Saya jelasakan situasinya ke staf yang mengangkat telepon, dan saya diijinkan untuk lapor diri sore hari.

Pulang kuliah jam 12, saya langsung ke Ede-Wageningen Station. Dari sana saya naik kereta ke Den Haag dan transit sebentar di Utrecht. Sampai Den Haag Centraal, saya cari Bus 24 jurusan Kijkduin.

Setelah sempat nyasar ke halte tram (dan berjalan lumayan jauh), saya sampai juga di halte bis. Ternyata untuk ke halte bis, kita harus naik tangga yang ada di sisi kiri Stasiun Den Haag Centraal. Saya turun di Halte Laan van Meerdervoort (West), dan mencari-cari gedung dengan bendera Merah-Putih. Kedutaan-kedutaan dari negara lain sepertinya terkumpul di satu kawasan ini, hampir sama seperti di Jalan Rasuna Said, Jakarta.

Setelah bertanya pada security di salah satu kedutaan (saya lupa kedutaan negara mana), saya berjalan kaki ke arah yang dia tunjuk. Dari jauh saya melihat bendera berwarna merah dan putih, yang ternyata bendera Jepang -____-“ Saya berjalan semakin jauh, sempat curiga kalau security yang saya tanya salah memberi informasi. Tapi rupanya tidak. Kali ini saya melihat Bendera Merah-Putih betulan.


Kedutaan RI ada di sisi kiri jika kita berjalan dari arah halte. Bendera Indonesia berdamping-dampingan dengan Bendera ASEAN. Saya masuk ke dalam, bingung sebenarnya habis itu harus kemana. Ada sebuah ruangan kecil yang harus kita lewati sebelum masuk ke gedungnya. Saya tanya ke mas-mas yang jaga tentang lapor diri. Saya bilang kalau saya sudah ada janji. Karena di luar jadwal, saya diminta naik ke lantai dua.

Saya naik ke lantai dua, dan.. ternyata orang-orang Kedutaan sedang berkumpul di situ. Seperti sedang di-briefing. Awkward. Untungnya ada mbak-mbak baik yang mendatangi saya. Saya disuruh turun lagi dan menunggu di bagian visa. Yasudah, saya ikuti saja.

Di ruang visa, orang-orang sudah menunggu visa atau paspor mereka. Beberapa bule, kebanyakan orang Indonesia. Ruangan ini tidak terlalu besar, dekorasi ruangannya diberi atmosfir Indonesia dengan pajangan kain-kain batik dan display TV yang mengiklankan wisata Indonesia.

Orang-orang ngobrol dengan Bahasa Indonesia, sesuatu yang tiba-tiba mengingatkan saya akan rumah. Saat itu saya seperti tidak sedang di Belanda.

Saya  mengambil tiket untuk mengantri yang belakangan sia-sia karena yang didahulukan orang yang ingin mengambil visa/paspor. Setelah ruangan nyaris sepi, saya bertanya ke staf kedutaan untuk lapor diri. Semua dokumen saya diperiksa di dalam sementara saya menunggu di tempat semula. Tidak ada lima belas menit, paspor saya sudah dicap oleh Kedutaan. Oh well, ternyata lapor diri prosesnya cepat dan mudah.

Karena sudah sore, kantin di Kedutaan tutup. Padahal saya sudah pengin makan masakan Indonesia. Di jalan pulang menuju halte bis, saya menemukan restoran Seleraku. Langsung saya makan Sup Iga dan Bakso Rambutan di situ. Sup Iganya beda dengan yang saya bayangkan, kurang gurih. Sambalnya juga tidak pedas. Padahal saya pikir kuah gurih iga dicampur sambal yang pedas pastilah enak untuk sore-sore yang dingin. Untungnya bakso gorengnya enak, krispi di luarnya. Kenyang setelah makan, saya pulang.


Sebenarnya banyak tempat yang bisa didatangi di Den Haag, yang bagus untuk foto-foto. Sayangnya, saat itu saya tidak punya waktu banyak. Pulang ke Wageningen sudah malam. Lain kali saya berencana ke Den Haag lagi.

No comments:

Post a Comment