Rabu,
27 November 2013. Sebelum jam 9 pagi saya sudah sampai kampus. Begitu masuk
ruang kelas C552, saya langsung disambut tetabuhan musik khas Afrika yang
disetel dari YouTube. Video musik hasil proyektor LCD di dinding depan kelas
menggambarkan suasana pagi di Afrika. Beberapa orang sudah ada di kelas,
termasuk dosen Ms. Westendorp dan asistennya. Meja dan kursi sudah diatur
berkelompok-kelompok. Saya duduk di sembarang kursi.
Hari itu, kami akan
bermain Africulture game. Tidak banyak referensi tentang game ini. Satu-satunya referensi yang
saya dapat adalah presentasi PowerPoint dari Vrije Universiteit, Amsterdam.
Itupun saya masih bingung cara mainnya.
Jam 9 tepat, kelas
dimulai dan Ms. Westendorp mulai menjelaskan tentang game ini. Jadi, satu kelas dibagi menjadi 9 kelompok. Satu kelompok
berisi 4-6 orang. Satu kelompok itu mewakili sebuah keluarga di Afrika. Ada
yang kebagian keluarga kecil, ada yang dapat keluarga besar. Kelompok saya
terdiri dari 4 orang. Keluarga dalam kelompok kami berjumlah 7 orang: bapak,
ibu, 3 anak yang sudah besar dan 2 bayi.
Kami diberi tiga lembar kartu berukuran sekitar 20x30 cm, dan satu kartu yang lebih kecil kira-kira 15x20 cm. Dua kartu pertama sebut saja ‘ladang', kartu ketiga ‘rumah’. Kartu yang paling kecil disebut ‘kebutuhan nutrisi’. Ini istilah saya sendiri sih. Selain itu, kelompok saya juga diberi 7 orang-orangan: 1 berwarna biru yang menggambarkan bapak, 1 pink melambangkan ibu, 3 hijau mewakili anak-anak, dan 2 coklat yang berarti bayi. Untuk modal awal, kami diberi uang 50.
Kami diberi tiga lembar kartu berukuran sekitar 20x30 cm, dan satu kartu yang lebih kecil kira-kira 15x20 cm. Dua kartu pertama sebut saja ‘ladang', kartu ketiga ‘rumah’. Kartu yang paling kecil disebut ‘kebutuhan nutrisi’. Ini istilah saya sendiri sih. Selain itu, kelompok saya juga diberi 7 orang-orangan: 1 berwarna biru yang menggambarkan bapak, 1 pink melambangkan ibu, 3 hijau mewakili anak-anak, dan 2 coklat yang berarti bayi. Untuk modal awal, kami diberi uang 50.
Kartu 'rumah'
Kartu 'ladang'
Kartu ‘rumah’ berisi kegiatan sehari-hari dalam rumah, seperti memasak dan mengasuh bayi. Anak yang sudah besar bisa menjaga bayi maksimal 5. Anak-anak dan ibu boleh memasak, bapak tidak. Kartu ‘ladang’ berisi tanaman yang ingin kita tanam: singkong, jagung, kacang, dan kapas. Ada musim yang harus dipatuhi. Contohnya, kita bisa menanam jagung (early maize) di early rains, namun late maize hanya boleh ditanam saat main rains. Ada pekerjaan tertentu yang bisa dikerjakan oleh bapak, ibu, anak. Ada juga yang hanya bapak, hanya ibu, hanya bapak dan anak, atau hanya ibu dan anak. Di masing-masing kotak periode menanam ada bulatan kecil yang menandakan siapa boleh melakukan apa.
Rumit ya?
Modal 50 itu bisa kami
manfaatkan untuk membeli pupuk. Kami menanam jagung dan kacang. Tanpa pupuk,
hasilnya akan lebih sedikit sehingga uang yang diperoleh nantinya juga sedikit.
Tapi harga pupuk juga mahal, kami tidak bisa memboroskan uang semua untuk pupuk
karena harus ada uang untuk biaya darurat.
Dimana kami membeli
pupuk? Di dosen dan asistennya. Mereka yang jadi bandar dan mengendalikan harga
pupuk. Mereka juga yang membeli hasil panen kami.
Setelah satu musim tanam
usai, kami memanen dan menjualnya ke bandar. Setelah itu, kartu ‘kebutuhan
nutrisi’ mulai diisi. Ada 3 kategori nutrisi: A, B, C. Kalau C, kebutuhan pokoknya
saja yang terpenuhi namun rawan sakit. B lebih bagus dan A yang paling bagus. Pemberian
nutrisi disesuaikan dengan kondisi ekonomi. Kalau memang tidak mampu, C atau B
sudah cukup. Ada keluarga kaya yang semuanya di kategori A. Di musim tanam pertama,
ketujuh orang di keluarga kami mendapat nutrisi kategori B.
Musim tanam kedua, drama
dimulai. Dosen mengumumkan hal-hal penting di tiap-tiap keluarga. Ada keluarga
yang punya bayi lagi, ada yang statusnya masuk rumah sakit kalau nutrisinya
kategori C. Ada yang anaknya berubah jadi lelaki dewasa; ini lumayan untuk
membantu di ladang. Hasil panen pun tak luput dari drama. Misal tanaman kapas mendapat
serangan hama sehingga gagal panen. Keluarga yang dari awal menanam kapas
kelimpungan. Sementara keluarga yang menanam singkong bisa lega karena tahan
hama.
Inti Africulture Game ini adalah bagaimana cara mengatur strategi supaya
keluarga kami bisa survive.
Ada juga opsi ke luar
kota bagi yang ingin punya kesempatan dan uang lebih besar. Tapi biaya ke kota
sendiri sudah besar, belum lagi butuh uang untuk sewa tempat di sana.
Di musim tanam ketiga,
keluarga kelompok kami bertambah satu dengan lahirnya seorang bayi. Ini
artinya, beban nutrisi yang ditanggung semakin berat. Padahal penghasilan
tetap. Akibatnya, ada satu bayi yang nutrisinya di kategori C. Keluarga
kelompok lain lebih parah. Ada kelompok lain yang kekurangan tenaga di ladang.
Akhirnya bayi-bayi mereka dititipkan di keluarga yang lain. Ada yang sampai
meninggal karena kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Sedihnya, untuk biaya
mengubur pun mereka tidak punya karena gagal panen sebelumnya. Kami
tetangga-tetangga yang lain inisiatif menyumbang uang untuk biaya pemakaman.
Saat itu, entah kenapa
saya jadi sedih. Mungkin karena terlalu menghayati permainan itu. Tapi
seriusan, it could be real. Di suatu
tempat sebuah keluarga sedang bertahan untuk hidup. Keluarga di kelompok saya
saja hanya pas-pasan. Di akhir sesi, uang kami hanya sisa 15 dengan 1 bayi di
kategori nutrisi C. Kelompok lain dengan strategi bagus (ditambah
keberuntungan) punya uang berlebih, bahkan bisa menyekolahkan anaknya. Hebat!
Hanya satu kelompok yang
berani pergi ke kota. Itupun tidak begitu berhasil karena dia tidak punya
ijazah sekolah. Akibatnya, dia hanya jadi tukang di sana dengan penghasilan
rendah.
Permainan ini selesai jam
4 sore. Sesi yang sangat panjang seharian. Meskipun begitu, saya senang bisa
bermain Africulture Game. Tapi yang
seperti sebelumnya saya bilang, this game
could be real. Somewhere out there – not only
in Africa – this game is real.
No comments:
Post a Comment