Saturday, 4 January 2014

Tentang Ujian-Ujian


Sampai akhir tahun 2013, sudah tiga kali saya mengerjakan ujian tertulis. Ujian pertama tanggal 22 November. Jumat sore jam 3, kami semua sudah bersiap mengerjakan soal ujian MDMD. Kami duduk sendiri-sendiri. Semua tas, jaket, dan HP ditaruh di depan kelas. Yang boleh ada di meja hanyalah pulpen dan kartu identitas. Ada satu pengawas yang membagikan soal ujian dan mengecek identitas peserta ujian.

Model ujiannya adalah pilihan ganda. Iya, pilihan ganda – tapi bukan pilihan ganda yang harus memilih salah satu. Jadi kami harus memperhatikan betul pertanyaannya. Kalau diminta memilih best atau worst answer, artinya jawabannya hanya satu. Tapi kalau diminta menjawab correct answer(s), pilihan jawabannya bisa 1, 2, semuanya atau tidak ada sama sekali. Waktu ujiannya 90 menit untuk 20 soal. Baru 30 menit, sudah ada yang selesai. Rata-rata satu jam sudah pada keluar.

Ujian tertulis ini hanya sedikit dari komponen untuk nilai akhir. Sebelumnya sudah ada open question dimana kami mengumpulkan jawaban yang sudah dikerjakan di rumah. Ada juga issue paper dan laporan tugas kelompok. Untuk menentukan nilai akhir Mata Kuliah Management of Development, diadakan sekali lagi ujian khusus Rural Development Theories.

Ujian yang kedua ini diadakan Jumat berikutnya, tanggal 29 November. Kali ini soalnya campuran antara pilihan ganda dan pertanyaan terbuka. Total waktunya dua jam. Kalau ujian yang pertama saya pede dengan jawaban yang saya pilih, ujian yang kedua ini lebih sulit. Soal pilihan gandanya lebih memusingkan.

Rupanya bukan saya saja yang pusing. Teman-teman yang lain juga banyak yang hopeless. Ketika ditanya tentang ujian kedua, seorang teman bahkan sempat bilang begini, “I feel like jumping out of window.”

Awal Desember, nilai ujian kedua sudah keluar. Jeng..jeng.. Langsung banyak yang down, termasuk saya sih. Meskipun lulus, tapi nilainya tidak memuaskan buat saya. Sebagai gambaran, dari 52 total mahasiswa, 18 tidak lulus.

Selang tiga hari kemudian, nilai total Mata Kuliah Management of Development keluar, termasuk nilai-nilai komponennya. Total nilai saya bertambah, tapi tetap saja tidak bagus menurut saya. Saya punya ekspektasi lebih. Yang lebih menyebalkan, saya hanya kurang poin 0.1 untuk dibulatkan ke nilai di atasnya. Akhirnya nilai saya malahan dibulatkan ke bawah.

Di antara semua komponen untuk nilai total, nilai terendah saya justru ada di laporan tugas kelompok. Ini seriusan bikin kaget. Saya pikir issue paper yang akan jatuh. Saya malah sempat berharap laporan kelompok ini bisa mendongkrak total nilai, bukan malah sebaliknya.

Kelompok saya terdiri dari lima orang. Empat teman saya yang lain pintar-pintar. Seriusan. Satu orang pernah menjadi pembicara di konferensi PBB mewakili negaranya, seorang lagi sudah mendapat gelar master sebelumnya. Dua teman saya yang lain juga tak kalah hebat. Kami membuat laporan tentang Visual Problem Appraisal mengenai KwaZulu-Natal, Afrika Selatan. Setiap hari kami diwajibkan konsultasi dengan dosen dan membuat laporan harian. Tanggapan dosen nyaris selalu positif. Ketika kelompok lain butuh waktu lebih lama untuk konsultasi, kelompok kami hanya butuh 10-15 menit. Makanya saya kaget karena justru itu nilai paling jelek.

Pertengahan Desember, dosen mengumpulkan kami semua untuk evaluasi nilai Management of Development. Mr. Putt dan Ms. Westendorp membagikan semua hasil ujian, termasuk komponen nilai lainnya seperti issue paper dan laporan kelompok. Saya cek dua ujian tertulis saya, mencari tahu mana yang salah, mana yang betul. Saya teliti issue paper, apa yang membuat nilainya bertambah, apa yang membuat berkurang. Dosen-dosen VHL rajin memberikan masukan. Semua issue paper diberi komentar satu-satu, termasuk hal remeh-temeh seperti spasi yang terlalu longgar.

Saya dan teman sekelompok yang penasaran dengan nilai jelek laporan kami langsung mengeceknya. Ternyata kami keliru memahami tugas. Kami hanya fokus di analisis; kami pikir itu akan mendapat nilai dengan porsi terbesar. Sementara itu kami abai dengan metodologi dan literature review. Setelah melihat semua koreksi di laporan, baru terasa masuk akal nilai yang kami dapat.

Oya, VHL punya kebijakan resit atau mengulang untuk yang tidak lulus ujian. Yang sudah lulus – meskipun tidak puas dengan nilainya – tidak boleh mengulang. Kalaupun mengulang, nilai maksimal yang didapat cuma 6. Iya, jadi walaupun nilai mengulangnya dapat 10, yang tertulis tetap 6. VHL melakukan itu supaya adil dengan mahasiswa yang sedari awal sudah lulus. Ini tidak berlaku di kampus lain. Di Wageningen UR – kalau mengulang – nilai terbaiklah yang dipakai. Kadang-kadang saya merasa itu tidak adil. Nilai 6 murni di VHL kalah dengan nilai 7 universitas lain hasil mengulang. Orang kadang tidak melihat prosesnya. Yang mereka lihat hanya nilai akhir.

Ujian ketiga diadakan Jumat tanggal 13 Desember jam 2 siang dengan materi Learning and Transformation (LT). Jenis soalnya open question. Ada empat soal yang harus dikerjakan dalam waktu satu jam. Masalahnya, soalnya terdiri dari subsoal. Soal nomor 1 saja terdiri dari 3 pertanyaan.

Saya sempat yakin bisa mengerjakan ujian LT ini. Buku-buku referensi sudah saya baca semuanya. Saya pikir soal ujiannya akan mudah dikerjakan.

Begitu melihat soal pertama, saya langsung panik. Saya skip dan membaca soal nomor 2 dan 3. Aman. Tapi giliran membaca soal nomor 4, saya langsung panas-dingin.

Saya tidak tahu jawaban untuk pertanyaan nomor 1 dan 4.

Jadi, di pertemuan terakhir sebelum ujian, saya ijin untuk pulang cepat. Kelas seharusnya selesai jam 12, tapi jam 10.30 saya sudah keluar. Saat itu saya punya janji dengan Visa Application Center di Dusseldorf, Jerman untuk apply visa UK. Jauh-jauh hari sebelumnya, saya sudah minta ijin ke dosen dan diijinkan. Saya pikir tidak akan ada masalah.

Ternyata, di 1.5 jam terakhir dosen menerangkan tentang teori yang dijadikan landasan soal nomor 1 dan 4. Materi tentang teori itu ada di presentasi PowerPoint. Saya membacanya, tapi akan beda jika saya mendengar penjelasannya. Salah saya tidak menanyakan ke teman-teman lain tentang materi 1.5 jam yang terlewatkan itu. Saya yakin kalau saat itu saya ada di kelas, minimal saya punya gambaran jawabannya.

Empat soal dan saya tidak bisa menjawab dua. Bahkan kalau dua soal yang lain bisa terjawab dengan sempurna, hasilnya tetap saja jelek.

Belum ada pengumuman tentang ujian ketiga ini. Kali ini saya tidak muluk-muluk, ingin yang penting lulus. Saya ingat dulu saat bertemu seorang alumnus ketika pre-departure briefing di Kedutaan Belanda, dia pernah bilang begini, “Kalau ujian, yang ditanya lulus atau tidak. Bukan nilainya berapa. Kalau lulus tapi nilainya pas-pasan, itu artinya kamu sudah paham teori tapi sedang tidak beruntung.” Well…

Fingers crossed.







No comments:

Post a Comment