Selama tinggal di
Wageningen, kadang saya kangen nonton konser musik atau pementasan apalah. Di
Jakarta saya beberapa kali diajak Mbak Tami nonton konser musik klasik juga
drama musikal. Pernah juga nonton film dengan live music, tak lupa opera. Menikmati pementasan-pementasan itu
membuat saya merasa ‘kaya’.
Makanya ketika melihat
ada selebaran konser Orient Express di Junushoff untuk tanggal 30 November,
saya langsung niat untuk nonton konsernya. Harga tiketnya 12 EUR, 9 EUR untuk
mahasiswa. Saya tak perlu menunjukkan kartu mahasiswa untuk mendapatkan
potongan 3 EUR.
Sebenarnya saya tidak
tahu pasti konsep konsernya seperti apa. Tapi tagline “All aboard for a musical journey” dengan background kereta api model kuno membuat
saya tertarik. Lagipula, saya sedang ingin kejutan.
Begitulah, malam minggu
jam 7 saya ke Junushoff di sekitar Centrum. Konser dimulai jam 20.15. Saya
masih punya banyak waktu untuk menunggu.
Setelah menitipkan jaket,
saya langsung naik lantai dua. Sudah ada mini konser di sebuah ruangan.
Anak-anak kecil 12-13 tahunan bermain terompet sementara di depannya para orang
tua duduk menyimak.
Orient Express ini adalah
acara untuk memperingati ulang tahun ke-50 Harmonie Wageningen – sebuah wadah
lokal untuk belajar musik. Ini semacam pembuktian kalau Harmonie Wageningen
punya kontribusi positif bagi pengembangan musik di Wageningen.
Menjelang jam 8, penonton
konser dipersilahkan masuk ke auditorium. Dari jadwal yang saya dapat, konser
akan terbagi menjadi dua: Slagwerkgroep
dan A-Orkest. Di antara keduanya ada
jeda istirahat.
Konser bagian pertama
dikhususkan untuk perkusi. Meskipun sedang ingin kejutan, sebenarnya sempat ada
rasa kecewa sedikit. Yang saya bayangkan piano dan biola, seperti konser musik
klasik yang biasa saya tonton. Tapi hey, ini sesuatu yang baru buat saya – which is good.
Saya lihat kiri-kanan,
cuma saya yang dari Asia. Yang lainnya pastilah kebanyakan warga lokal
Wageningen. Keseluruhan acara memakai Bahasa Belanda, sampai ke booklet jadwal acaranya.
Lagu pertama berjudul Marching Season. Musiknya megah – tempo pelan
di awal dan semakin cepat menjelang akhir. Promising.
Selanjutnya berturut-turut Exposure dan
Quadratical Equation. Lagu berikutnya
– ini yang jadi favorit saya – Gabriellas
Sang. Saya suka dengan aransemennya
yang sederhana tapi manis. Setelah itu, A
Western Movie yang terdengar Amerika banget
dan diakhiri dengan Skrijan Melo.
Sama seperti ketika
nonton konser Sharon, saat itu pun tidak banyak yang memotret atau merekam
video. Saya jadi jengah, padahal sudah niat bawa kamera. Akhirnya saya malah
foto-foto ketika break.
Kalau konser bagian
pertama untuk alat musik ketuk, yang kedua ini khusus untuk alat musik tiup. Penampilnya
lebih banyak, memenuhi panggung. Masih ingat dengan konsep kereta kuno dengan tagline “All aboard for a musical journey”? Konser bagian kedua ini menjelaskan
maksudnya.
Jadi, di pertunjukan
kedua ini kita seperti dibawa keliling Eropa melalui musik, mulai dari Istambul
hingga London. Ada sedikit drama lucu-lucuannya juga di bagian kedua ini.
Yang jadi lagu pembuka
adalah Around the World in 80 Days. Setelah
itu, di panggung muncul dua orang ibu-ibu dengan pakaian era Victoria yang
ceritanya sedang jalan-jalan naik kereta api. Ada masinisnya juga dan ada satu
orang lagi yang punya banyak peran – mulai dari tukang angkat barang hingga
tukang jualan kain. Drama ini paling cuma 5 menit, untuk kemudian dilanjut
dengan lagu berikutnya.
Oya, selain drama sebagai
jeda antara satu lagu dan lagu lainnya, ada juga penggalan musik khas dari Orient Express yang dilanjut dengan kondektur
yang meniup peluit. Layar di panggung juga disesuaikan dengan kota yang sedang
jadi tujuan.
Pemberhentian pertama ada
di Istanbul dengan lagu Orientales. Selanjutnya
Praha dengan Slavonic Dance Opus 46 No.4.
Wina jadi pemberhentian berikutnya dengan Kaiser Walzer Opus 437. Setelah itu Paris dengan An American in Paris. Wageningen juga
masuk dalam daftar dengan Bello. Lucunya,
itu bukan yang terakhir. Kota terakhir justru London dengan City Swing Selectie-nya.
Setelah konser berakhir,
ada sambutan-sambutan lagi dan pemberian bunga untuk konduktor konser bagian
pertama dan kedua. Setelah itu, ternyata Bello
kembali dinyanyikan.
Beda dengan lagu lain
yang instrumental, Bello memang
dinyanyikan oleh dua orang dari Wageningen. Lagu itu tentu menggunakan Bahasa
Belanda. Yang saya tangkap, Bello berkisah
tentang kereta api pertama di Ede-Wageningen. Ada lirik dan videonya di layar,
kami disuruh nyanyi bareng-bareng. Lucu juga.
Saya pulang sekitar jam
11 malam, jalan kaki sendirian ke halte bis Centrum. Dari papan informasi
elektronik, terlihat Bus 88 akan datang 2 jam lagi. 2 JAM LAGI! Saya sampai rumah jam
berapa?
Ini agak aneh sih. Setahu
saya Bus 88 berhenti beroperasi jam 00.30 dan selalu ada setiap 15 menit sekali selama rentang waktu itu. Well,
tapi itu dari stasiun kereta, bukan dari arah sebaliknya. Saya mulai panik.
Hampir tengah malam sendirian di halte bis yang sepi. Kalau nekat jalan kaki ke
Bornsesteeg, itu bisa sampai setengah jam sendiri. Jalan menuju ke sana lebih
sepi dan gelap. Belum lagi udara sedang dingin begini.
Saya bisa saja mengecek jadwal
bis melalui 9292.nl yang lebih valid, TAPI pulsa saya habis jadi tidak bisa
untuk internetan. Saking bingungnya, yang bisa saya lakukan cuma menunggu.
Itulah kenapa saya lega
ketika melihat Bus 88 datang. Itu bisa saja bis terakhir dari Centrum. Duh,
pengin saya peluk supir bisnya.
Saya sampai Bornsesteeg safe and sound. Kesan nonton konser
hampir hilang saking sebelumnya saya panik menunggu bis. Malam itu, saya dibawa
jalan-jalan mengelilingi Eropa tapi tetap tidak ada yang mengalahkan rasa
senang bisa pulang.
No comments:
Post a Comment