Saturday, 4 January 2014

Orient Express

Selama tinggal di Wageningen, kadang saya kangen nonton konser musik atau pementasan apalah. Di Jakarta saya beberapa kali diajak Mbak Tami nonton konser musik klasik juga drama musikal. Pernah juga nonton film dengan live music, tak lupa opera. Menikmati pementasan-pementasan itu membuat saya merasa ‘kaya’.

Makanya ketika melihat ada selebaran konser Orient Express di Junushoff untuk tanggal 30 November, saya langsung niat untuk nonton konsernya. Harga tiketnya 12 EUR, 9 EUR untuk mahasiswa. Saya tak perlu menunjukkan kartu mahasiswa untuk mendapatkan potongan 3 EUR.

Sebenarnya saya tidak tahu pasti konsep konsernya seperti apa. Tapi tagline “All aboard for a musical journey” dengan background kereta api model kuno membuat saya tertarik. Lagipula, saya sedang ingin kejutan.

Begitulah, malam minggu jam 7 saya ke Junushoff di sekitar Centrum. Konser dimulai jam 20.15. Saya masih punya banyak waktu untuk menunggu.

Setelah menitipkan jaket, saya langsung naik lantai dua. Sudah ada mini konser di sebuah ruangan. Anak-anak kecil 12-13 tahunan bermain terompet sementara di depannya para orang tua duduk menyimak.

Orient Express ini adalah acara untuk memperingati ulang tahun ke-50 Harmonie Wageningen – sebuah wadah lokal untuk belajar musik. Ini semacam pembuktian kalau Harmonie Wageningen punya kontribusi positif bagi pengembangan musik di Wageningen.

Menjelang jam 8, penonton konser dipersilahkan masuk ke auditorium. Dari jadwal yang saya dapat, konser akan terbagi menjadi dua: Slagwerkgroep dan A-Orkest. Di antara keduanya ada jeda istirahat.

Konser bagian pertama dikhususkan untuk perkusi. Meskipun sedang ingin kejutan, sebenarnya sempat ada rasa kecewa sedikit. Yang saya bayangkan piano dan biola, seperti konser musik klasik yang biasa saya tonton. Tapi hey, ini sesuatu yang baru buat saya – which is good. 

Saya lihat kiri-kanan, cuma saya yang dari Asia. Yang lainnya pastilah kebanyakan warga lokal Wageningen. Keseluruhan acara memakai Bahasa Belanda, sampai ke booklet jadwal acaranya.

Lagu pertama berjudul Marching Season. Musiknya megah – tempo pelan di awal dan semakin cepat menjelang akhir. Promising. Selanjutnya berturut-turut Exposure dan Quadratical Equation. Lagu berikutnya – ini yang jadi favorit saya – Gabriellas Sang. Saya suka dengan aransemennya yang sederhana tapi manis. Setelah itu, A Western Movie yang terdengar Amerika banget dan diakhiri dengan Skrijan Melo.

Sama seperti ketika nonton konser Sharon, saat itu pun tidak banyak yang memotret atau merekam video. Saya jadi jengah, padahal sudah niat bawa kamera. Akhirnya saya malah foto-foto ketika break.



Kalau konser bagian pertama untuk alat musik ketuk, yang kedua ini khusus untuk alat musik tiup. Penampilnya lebih banyak, memenuhi panggung. Masih ingat dengan konsep kereta kuno dengan tagline “All aboard for a musical journey”? Konser bagian kedua ini menjelaskan maksudnya.

Jadi, di pertunjukan kedua ini kita seperti dibawa keliling Eropa melalui musik, mulai dari Istambul hingga London. Ada sedikit drama lucu-lucuannya juga di bagian kedua ini.

Yang jadi lagu pembuka adalah Around the World in 80 Days. Setelah itu, di panggung muncul dua orang ibu-ibu dengan pakaian era Victoria yang ceritanya sedang jalan-jalan naik kereta api. Ada masinisnya juga dan ada satu orang lagi yang punya banyak peran – mulai dari tukang angkat barang hingga tukang jualan kain. Drama ini paling cuma 5 menit, untuk kemudian dilanjut dengan lagu berikutnya.

Oya, selain drama sebagai jeda antara satu lagu dan lagu lainnya, ada juga penggalan musik khas dari Orient Express yang dilanjut dengan kondektur yang meniup peluit. Layar di panggung juga disesuaikan dengan kota yang sedang jadi tujuan.

Pemberhentian pertama ada di Istanbul dengan lagu Orientales. Selanjutnya Praha dengan Slavonic Dance Opus 46 No.4. Wina jadi pemberhentian berikutnya dengan Kaiser Walzer Opus 437. Setelah itu Paris dengan An American in Paris. Wageningen juga masuk dalam daftar dengan Bello. Lucunya, itu bukan yang terakhir. Kota terakhir justru London dengan City Swing Selectie-nya.

Setelah konser berakhir, ada sambutan-sambutan lagi dan pemberian bunga untuk konduktor konser bagian pertama dan kedua. Setelah itu, ternyata Bello kembali dinyanyikan.

Beda dengan lagu lain yang instrumental, Bello memang dinyanyikan oleh dua orang dari Wageningen. Lagu itu tentu menggunakan Bahasa Belanda. Yang saya tangkap, Bello berkisah tentang kereta api pertama di Ede-Wageningen. Ada lirik dan videonya di layar, kami disuruh nyanyi bareng-bareng. Lucu juga.

Saya pulang sekitar jam 11 malam, jalan kaki sendirian ke halte bis Centrum. Dari papan informasi elektronik, terlihat Bus 88 akan datang 2 jam lagi. 2 JAM LAGI! Saya sampai rumah jam berapa?

Ini agak aneh sih. Setahu saya Bus 88 berhenti beroperasi jam 00.30 dan selalu ada setiap 15 menit sekali selama rentang waktu itu. Well, tapi itu dari stasiun kereta, bukan dari arah sebaliknya. Saya mulai panik. Hampir tengah malam sendirian di halte bis yang sepi. Kalau nekat jalan kaki ke Bornsesteeg, itu bisa sampai setengah jam sendiri. Jalan menuju ke sana lebih sepi dan gelap. Belum lagi udara sedang dingin begini.

Saya bisa saja mengecek jadwal bis melalui 9292.nl yang lebih valid, TAPI pulsa saya habis jadi tidak bisa untuk internetan. Saking bingungnya, yang bisa saya lakukan cuma menunggu.

Itulah kenapa saya lega ketika melihat Bus 88 datang. Itu bisa saja bis terakhir dari Centrum. Duh, pengin saya peluk supir bisnya.

Saya sampai Bornsesteeg safe and sound. Kesan nonton konser hampir hilang saking sebelumnya saya panik menunggu bis. Malam itu, saya dibawa jalan-jalan mengelilingi Eropa tapi tetap tidak ada yang mengalahkan rasa senang bisa pulang.

No comments:

Post a Comment